Thursday, February 13, 2020

A Diamond in Khatulistiwa



A Diamond in Khatulistiwa
-Wanita sejati bagaikan berlian. tangguh tak mudah dihancurkan
dan tetap bersinar walau tertutup lumpur-

Mentari bersinar di pagi hari. Cahayanya menembus rimbunnya pepohonan di sekitar Perumahan Gunung Sari Asri. Hangat terasa menembus kulit. Bayang-bayang mengikuti langkah Lia yang berjalan tanpa alas kaki mengelilingi perumahan.  Angin semilir menyibakkan  rambutnya. Cahaya perak mulai tampak diantaranya. Pertanda umur semakin beranjak diusia senja tetapi senyum selalu menghiasi bibirnya.
Dirasa gawai di dalam saku celananya bergetar. Lia langsung membuka whatsapp. Begitu banyak chat yang sudah menantinya. Lia langsung membuka chat pribadi.
“Bunda, saya bisa pesan novel Amanda 10 eksemplar?”
“Puji Tuhan, akhirnya novel perdanaku menemui takdirnya,” gumam Lia.
Tangan Lia bergemetar saat harus membalas chat pesanan  novelnya. Dia tidak menyangka begitu banyak teman di komunitas menulis yang berminat membaca novel tersebut. Bahkan tidak sedikit sahabat-sahabat FB yang tertarik. Mereka dari Sumatra, Kalimantan, Jawa, NTB, NTT, Papua. Permintaan yang paling tidak terduga adalah dari negeri seberang, Malaysia, Singapura, Thailand, Austraia, Jerman, Perancis, dan  Amerika. Mereka mengira novel Amanda, My Autism Beloved Daughter tertulis dalam bahasa Inggris. Ongkos kirim yang mahal dan perbedaan bahasa bukanlah  penghalang bagi mereka untuk membaca novel , Amanda. Suatu minat baca yang sangat tinggi. Mereka juga sangat menghargai karya seseorang walaupun karya tersebut masih sangat sederhana. Suatu apresiasi yang sangat luar biasa yang membakar semangat  Lia untuk  terus menulis.
Lia juga memberikan novel perdananya secara gratis  kepada anak didiknya yang berprestasi dalam mata pelajaran bahasa Inggris yang diampunya. Novel tersebut juga disumbangkan ke beberapa perpustakaan di Ambarawa, Salatiga, Purbalingga, Temanggung, danSemarang Beberapa saudara yang senang membaca juga mendapatkannya.
Sebagian besar hasil penjualan  novel Amanda disumbangkan ke Rumah Panti Asuhan yang ada di kota Salatiga. Sebagian lagi digunakan untuk mengembalikan biaya pra cetak sampai cetak  novel tersebut karena Lia menggunakan tabungan anak sulungnya, Amanda, agar novel tersebut dapat terwujud.
Lia menulis novel Amanda bukan karena dia suka menulis ataupun pandai menulis. Proses penulisan novel pertamanya ini diawali dari perasaan sedih, galau, bersalah yang selalu berkecamuk di dalam hatinya saat dia berada di sekolah. Lia harus meninggalkan keluarganya selama 11 jam setiap harinya demi menunaikan tugas negara. Waktu yang sangat lama bagi dirinya dan keluarganya untuk berpisah. Jarak rumah dan tempat Lia mengajar sangatlah jauh. Sehingga Lia tidak dapat menengok keluarganya disela-sela jam mengajar. Padahal suaminya sangat membutuhkan keberadan Lia untuk selalu disampingnya. Di usia menjelang pensiun suami Lia menglami strok. Pendarahan otak yang dialami, membuat suami Lia seperti anak kecil. Rasa khawatir yang tinggi, sering bingung dan sering semaunya sendiri. Untunglah Lia seorang istri yang sangat sabar. Kesabaran yang dimilikinya berkat anak sulungnya, Amanda. Dengan membimbing Amanda, membuat Lia memiliki kekuatan yang lebih baik secara fisik, mental maupun emosi.
God is good, Tuhan memang baik dan tidak pernah tidur. Tuhan selalu mendengar doa-doa umatnya. Lia pun merasakan hal tersebut. Tuhan mengulurkan tanganNya lewat Media Guru. Lewat bapak Murman atau yang biasa diganggil  Pak Leck dan dan bapak Eko Prasetyo, Lia mengenal  dunia menulis untuk  pertama kali. Lia sangat bersyukur karena merekalah novel, Amanda  ada. Novel yang diangkat dari kisah nyata kehidupan Lia dan anak sulungnya, Amanda. Lia ingin berbagi kepada para pembaca novel tersebut bagaimana dia berjuang membesarkan anaknya yang menyandang autis di tengah keterbatasan yang dia alami. Di dalam novel tersebut, Lia baru mampu menuangkan 1/3 perjalanan hidup Amanda dari Amanda masih di dalam kandungan hingga ia berusia 9 tahun. Saat ini Amanda sudah berusia 28 tahun. Dia berencana menulis lanjutan  novel tentang Amanda sesuai dengan permintaan para pembaca novel perdananya. Lia selalu berdoa semoga Tuhan memberikan kemudahan untuk dapat mewujudkan impian itu. Pada cetakan pertama, novel Amanda beredar sebanyak 250 eksemplar disusul cetakan kedua sebanyak 100 eksemplar.
Lia juga belajar menulis di komunitas menulis lainnya. Dia berusaha mencari komunitas yang berbeda dari komunitas menulis sebelumnya. Hingga akhirnya dia bergabung dengan GIM – Gerakan Inovasi Menulis. Group menulis ini sangatlah unik dengan mentor yang unik pula. Dia seorang inovator – Peng Keng Sun. Dari beliaulah Lia merasa mendapat tempaan secara mental.  Pernyataan yang lugas, apa adanya, tidak membuat semangat Lia untuk dapat menulis dengan lebih baik menjadi surut. Justru sebaliknya, Lia seperti mendapatkan sulutan api yang membakar dirinya. Di saat beberapa teman di group itu mengundurkan diri, Lia semakin getol untuk belajar dari buku karya inovasi mentornya ini. Di group inilah Lia mengenal dan membeli banyak buku untuk belajar menulis. Buku-buku karya fiksipun dibelinya. Lia termasuk orang yang boros dalam urusan membeli buku. Selalu ada saja uang untuk membeli buku walaupun penghasilannya tidaklah berlebih. Dia memang senang membaca. Kedua anaknyapun, Silvia dan Thesa, juga suka membaca. Mereka merasa nyaman berjam-jam di toko buku daripada di Mall. Seperti  para penulis senior bilang bahwa untuk menjadi seorang penulis memang harus banyak membaca. Lebih banyak membaca daripada menulis. Lia juga berprinsip agar karya tulisnya dibeli orang maka Lia juga harus mau membeli karya orang lain. Kenyataan yang Lia sering hadapi justru sebaliknya. Tidak sedikit orang yang sangat berharap karya bukunya laris dibeli orang tetapi dia sendiri tidak mau membeli buku.  Ironis sekali.
Di GIM, Lia  dapat melihat peluang untuk menulis buku berkaitan dengan mata pelajaran yang dipegangnya. Sehingga lahirlah buku kedua - Cerpen-Gram for Learning and Teaching English hasil kolaboraasi dengan Peng Keng Sun. Buku kedua di cetak sebanyak 300 eksemplar. 100 eksemplar di bagikan secara gratis pada acara talk show Kick Andy. Suatu pencapaian yang sangat tidak diduga oleh Lia. Di GIM, Lia mendapatkan banyak pelajaran. Peng Keng Sun sangat mengharapkan para anggota GIM bisa  menjadi seorang inovator bukan penulis biasa. Di komunitas menulis ini Lia juga belajar seluk beluk marketing buku. Dia juga tahu bagaimana dunia penerbitan buku yang sebenarnya.. Dia juga mengetahui bagaimana caranya menembus penerbit mayor. Satu kebanggaan dirasa oleh Lia saat buku ketiganya  dapat diterbitkn oleh  penerbit mayor – PT. Elek Media Kumpotindo. Buku teresebut berjudul Easy and Fun with Cerpen-Gram.
Di dalam GIM terdapat beberapa penulis hebat yang dapat menularkan ilmunya. Beberapa penulis senior itu mengajak para anggota GIM untuk bergabung dalam penulisan antologi. Pak Ludwig, seorang penulis kawakan mengajak bergabung dalam penulisan buku antologi tentang pengembangan karakter. Terdapat 14 anggota GIM bergabung dalam penulisan antologi ini. Hingga lahirlah buku tersebut dengan  judul “Bunga Rampai Pengembangan Karakter Bangsa” . Setiap penulis harus menulis sekitar 5000 kata. Wow...cukup banyak  karena bisa lebih dari 15 halaman untuk setiap penulis.  Biasanya dalam buku antologi, setiap penulis hanya menulis sekitar 5 halaman. Di dalam antologi “Bunga Rampai”,  Lia menceritakan bagaimana penguatan pendidikan karakter dilakukan di sekolahnya, SMA Negeri 1 Ambarawa, baik di dalam kelas maupun di luar kelas yang melibatkaan seluruh komunitas di sekolahnya. Walaupun Pak Ludwig  sudah berusia lebih dari 70 tahun ,semangat belajar , menulis dan menularkan ilmu sangatlah besar. Bersama beliaulah, Lia mendapatkan kesempatan untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Beliau sering memberikan pelatihan di perusahaan-perusahaan baik di dalam negeri maupun luar negeri.  
Buku antologi kedua yang ditulis oleh ...anggota GIM adalah “A Cup of Tea – Kisah Kasih Keluarga”. Di dalam buku antologi inipun hampir serupa dengan buku Bunga Rampai. Bapak Peng Keng Sun tidak membatasi jumlah halaman dalam tulisaan setiap penulis. Beliau memberikan kebebasan berpikir dan berkreasi dalam menulis. Rata-rata para penulis menulis lebih dari 14 halaman. Antologi ini ditulis berdasarkan kisah nyata yang terjadi pada kehidupan dalam keluarga 14 penulis buku tersebut. Kisah tentang cinta kasih di dalam keluarga. Dari pengalaman menulis antologi ini, Lia semakin menyadari betapa besar cinta ibunya kepada dirinya hingga diakhir hayatnya..
Uluran tangan berikutnya datang dari seorang editor handal. Beliau adalah bapak Stefanus Rahoyo. Beliau menawarkan  kesempatan untuk menulis antologi yang bertema “menangani anak bandel.’ Untuk mempermudah pengelolanan, beliau membentuk group menulis dengan nama Guru Menulis.  Terdapat 23 penulis yang berhasil menyelesaikan karyanya waqlaupunsebenarnya anggota group menulis ini cukup banyak. Bapak Rahoyo termasuk editor yang sangat teliti. Sebelum karya para penulis layak diterbitkan, pak Rahoyo akan mereviewnya. Karya yang sudah direview akan dikembalikan kepada penulis untuk direvisi. Setelah karya yang telah direvisi kembali  ke tangan pak Rahoyo, barulah beliau mengedit. Jadi Beliau memberi kesempatan kepada para penulis untuk mengedit karya mereka sendiri dahulu. Bagi Lia, dengan proses penulisan seperti itu, dia menjadi lebih mengetahui bagaimana proses menulis yang sebenarnya. Antologi ini ditulis juga berdasarkan kisah nyata yang dialami para penulis. Mereka menceritakan bagaimana mereka menangani anak didik mereka yang bandel dan akhirnya menajadi anak yang baik. Lia harus mengingat kembali peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam. Lia sangat senang manakala sang editor mengatakan bahwa cara Lia menangani anak didiknya yang sangat bandel tersebut out of the box dan sangat inspiratif. Buku antologi tersebut akhirnya diberi judul “Permata Guru”
Lia sangat bersyukur lewat GIM, Lia dapat bertemu dengan orang orang hebat. Ada seorang pakar menulis cerita anak. Beliau memiliki rumah baca yang diberi nama Wadas Kelir. Heru Kurniawan seorang pecinta dunia anak. Lia banyak belajar bagaimana menulis cerita untuk anak-anak. Sayang, Lia belum sempat menelorkan satu bukupun tentang cerita untuk anak. Dia baru menulis beberapa cerita pendek untuk anak di group menulis tersebut. Sepertinya passion Lia bukan ke cerita anak. Lia belum mampu menulis cerita fantasi untuk anak dengan baik. Baginya cerita yang disampaikan ke anak-anak haruslah yang logis dan nyata. Itulah sebabnya Lia perlu banyak belajar. Dalam salah satu impiannya ia tetap berharap suatu saat dia mampu menulis cerita untuk anak.-Pictorial Children Stories
Disela-sela menulis buku, Lia juga menulis artikel ilmiah populer di media massa. seperti Wawasan dan Jawa Pos Radar Semarang. Walaupun penayangan artikel di media massa tersebut berbayar, bagi Lia tidak menjadi masalah. Nothing is free in the world, semua ada harganya.  Di media masa itulah  Lia dapat menularkan inovasi-inovasinya tentang metode mengajar bahasa Inggris. Dari artikel yang berhasil dimuat, Lia sudah melakukan 2 penelitian tindakan kelas. Diapun berencana akan membukukan inovasi tersebut supaya semakin banyak para guru yang akan menggunakannya dan mengembangkannya. Sehingga pembelajaran bahasa Inggris menjadi pelajaran yang sangat menyenangkan, menantang dan berguna .
Di penghujung tahun 2019, Bunda Sri Sugiastuti mengajak Lia untuk bergabung dalam kelompok Pegiat Literasi Nusantara. Komunitas ini akan menulis buku antologi tentang hijrah atau thanksgiving, perasaan syukur dan harapan ke depan. Lia juga bergabung dalam  “Ngobras Puisi PLN Batch 1” .  Disaat kejenuhan mulai dia rasakan, Lia harus mencari sesuatu yang baru untuk membangkitkan semangatnya. Puisilah yang berhasil membangkitkaan semangat menulis muncul kembali. Bersama  ibu Sri Sujarwati dan Bapak Suprihationo, Lia lebih mengenal puisi. Di group menulis ini, para anggota mendapat kesempatan untuk menulis buku antologi puisi.
Di tahun 2020, Lia sudah mempunyai beberapa rencana yang akan diselesaikan. Seorang penulis senior sudah menantinya untuk berkolborasi menulis buku non fiksi. Buku tersebut akan digunakan sebagai salah satu buku referensi para mahasiswa. Lia juga harus menepati janjinya kepada mentornya untuk menyelesaikan buku yang baru 50%  ditulis. 2 kesempatan penulisan artikel di media massa juga harus diambilnya. Penelitian tindakan kelas berikutnya juga membutuhkan tangannya untuk menyelesaikannnya. Di tahun itu pula Lia sudah menyiapkan energi untuk menulis buku sendiri. Begitu banyak yang ingin Lia lakukan di tahun 2020. Semangat menulisnya semakin menggebu-gebu ditengah kesibukannya sebagai seorang ibu, istri, guru dan anggota masyarakat.
Dengan menulis Lia merasakan mendapatkan banyak manfaat. Selain dapat  menghilangkan rasa galau, sedih dan bersalah , ternyata dengan berjalannya waktu begitu banyak hal positif yang dia peroleh. Dia dapat mengenal penulis-penulis hebat, memiliki banyak teman, buku-bukunya bermanfaat untuk orang banyak, namanya mulai dikenal banyak orang dan yang tidak kalah pentingnya adalah mendapat kredit poin untuk penilaian PAK.  Dari semua manfaat tersebut yang paling utama adalah Lia merasa lebih bahagia.
Harapannya semoga karya bukunya bisa menyebar di bumi Nusantara,  laksana berlian yang bersinar di Khatulistiwa dan bermanfaat bagi oraang banyak.  Tujuan yang baik pasti akan membawa hasil yang baik pula. Never to old to learn. Itu keyakinan Lia. Let’s Go To 2020 . .



Profil Penulis
Natalia Susiana Dwi Apriyanti adalah nama lengkapnya. Dia lulus Fakultas Pendidikan jurusan Bahasa Inggris di Universitas Kristen Saatya Wacana Salatiga. Dia mengajar bahasa Inggris di SMA Negeri `1 Ambarawa, Kabupaten Semarang.
Amanda, My Beloved Autism Daughter adalah debut pertamanya.  Cerpen-Gram for Learning and Teaching English dan  Easy and Fun with Cerpen-Gram. adalh buku referensi bahasa Inggris.Buku antologi yang ditulisnya  adalah Bunga Rampai Pengembangan Karakter Bangsa, A Cup of Tea dan Permata Guru. Dia juga menulis beberapa artikel di media masa Wawasan dan Jawa Pos Radar Semarang. Beberapa jurnal ilmiah pun sudah ditulisnya..
                                                                                                  
WA     : 085728084000

Nama di sertifikat   : Natalia Susiana Dwi Apriyanti, S.Pd.
Nama di kover        : Natalia Susiana DA.







MUTIARA HATI (CERPEN)


Mutiara Hati

oleh
Natalia Susiana DA
WA : 088215744200


Rasa dingin beranjak dari bumi dengan enggan dan kabut menghilang. Berganti dengan sang surya yang berwarna merah di langit biru yang menyapa perumahan Gunung Sari dengan ramahnya. Sinar mentari menembus rindangnya pepohonan di area perumahan. Cahayanya memancar hingga ke dalam ruang makan rumah kami, keluarga Santoso, melewati pintu dan jendela yang senantiasa dibuka setiap pagi. Udara yang hangat dengan hembusan angin yang lembut dari arah timur membuat kami bersemangat untuk duduk dan sarapan.
Jam dinding menunjukkan pukul 6,30 WIB. Saya  membiasakan keluarga saya untuk bangun pagi, mandi dan sarapan, walaupun hari Minggu.  Kami berencana pergi ke gereja pukul 7 untuk mengikuti Misa kedua setelah sarapan. Biasanya kami berenam, ibu saya yang biasa dipanggil “Mbah Ayi” , suami saya, ketiga anak gadis saya dan saya. Kami duduk mengelilingi meja makan yang terbuat dari kayu jati berwarna coklat. Tetapi saat itu hanya kami berlima karena mbah Ayi masih berada di Semarang. Mbah Ayi bersikares untuk mengikuti tahlilan selama tujuh hari. Tahlilan untuk kakaknya atau  mbah kakung, panggilan yang biasa kami gunakan untuk beliau. Mbah kakung meninggal tanggal 29 Maret 2017.
Saya sedang menyuapi  suami saya. Dia  belum mampu untuk makan  sendiri karena menderita strok. Tiba-tiba terdengar  gawai saya berdering di ruang tengah.
“Ibu ada telpon,” teriak Amanda.
“Thesa, tolong lihat telpon dari siapa,” saya meminta kepada anak bungsu saya yang duduknya paling dekat dengan ruang tengah. Segera Thesa beranjak dari tempat duduknya.
“Ibu dari budhe Endang,”seru Thesa..
“Ya, tolong dibuka aja.” Saya biarkan anakku menjawab telepon.
Selang beberapa menit, Thesa kembali ke tempat duduknya sambil berkata,”Ibu disuruh untuk menjemput mbah Ayi sekarang. Mbah Ayi minta pulang.”
“Ya, cepat selesaikan sarapannya. Kita jemput mbah Ayi langsung setelah pulang dari gereja,” kata saya sambil saya terus berfikir. Seharusnya mbah Ayi masih 3 hari lagi di sana. Tahlilan akan berlangsung selama tujuh hari berturut-turut. Mengapa baru hari keempat mbah Ayi sudah minta pulang. Ada apa gerangan dengan mbah Ayi. Ya Tuhan semoga tidak terjadi yang buruk dengan mbah Ayi. Saya berusaha tetap tenang. Supaya suami dan ketiga anak saya juga tenang.
“Aduh, ibu hampir lupa. Silvi, tolong telpon om San untuk mengantar kita ke gereja. Bilang juga kita akan langsung ke Semarang. Kita mungkin pulang sore.”
Tanpa berkata sepatah katapun, Silvi langsung menghubungi om San.
Semenjak suami saya terkena serangan strok dia tidak mampu lagi membawa mobil. Sehingga terpaksa kami menyewa sopir untuk mengantarkan kami sekeluarga kemanapun kami pergi. Ada beberapa orang yang berkenan mengantar kami. Tetapi kami memilih om San karena dia lebih paham rute-rute di luar kota.
Selama ibadah di gereja, saya tidak bisa berkonsentrasi. Dalam pikiran saya hanya ada mbah Ayi. Jantung saya terasa berdetak kencang dan kedua mata saya berkaca-kaca hingga mengaburkan pandangan.
“Ibu nangis?” tanya Amanda sambil menandang mata saya lekat-lekat. Dengan segera ia mengambil kertas tissu di dalam tas  dan berusaha mengusap air saya yang mulai jatuh di pipi saya. Perhatian Amanda ini membuat saya tidak mampu membendung air mata. Dia anak sulung saya yang paling mengerti suasana hati ibunya. Rasa empatinya tinggi sekali. Satu kelebihan yang dia miliki meski banyak kekurangan yang dia sandang. Saya selalu bersyukur atas kharakter mulia yang Amanda miliki. Saya tidak tahu mengapa saya menangis. Yang saya rasakan adalah perasaan takut.
Usai ibadah di gereja, kami langsung menuju ke rumah saudara di Semarang untuk menjemput mbah Ayi. Selama perjalanan, kami semua tidak ada yang berbicara. Biasanya Amanda menanyakan banyak hal, tetapi kali inipun dia ikut terdiam. Setiba di rumah saudara saya, saya langsung bertanya, “Mana mbah Ayi, Mbak Endang?”
“Di kamar tengah,” jawabnya sambil mengikuti langkah saya yang langsung menuju ke kamar tengah.
“Mbah Ayi.” sapa saya pelan sambil saya cium dahinya dan kedua pipinya. Saya lihat raut wajahnya pucat. mulutnya terkatup rapat. Kelihatan sekali kalau beliau menahan rasa sakit.
“Ayo Mbah, kita ke rumah sakit.’
“Pulang saja,” pinta mbah Ayi dengan suara yang sangat lirih.
“Ya Mbah, kita akan pulang. Tetapi sebelum pulang, kita periksa ke dokter dulu. Supaya mbah Ayi dapat  minum obat. Siapa tahu nanti kalau mbah sudah minum obat, rasa sakitnya akan berkurang.”
 “Periksa dokter di Salatiga saja.” mbah Ayi masih berusaha menolak untuk diajak ke dokter.
“Ya, besok kita periksa ke dokter di Salatiga. Sekarang ke rumah sakit Panti Wiloso dulu, yuk,” bujuk saya sambil saya membantu mbah Ayi untuk duduk dan saya menyisir rambutnya.
“Dari kemarin, mbah Ayi tidak mau makan. Mau muntah terus,” kata mbah Uti, istri dari mbah kakung.
“Iya Mbah Ayi, mau muntah terus? “ tanya saya lembut sambil saya gandeng tangannya untuk berjalan menuju ruang tamu.
“Iya, perut sakit sekali, mulut pahit sekali,” kata mbah Ayi.
“Wah, tubuh mbah Ayi pasti lemas sekali tidak makan dari kemarin Yuk kita segera berangkat. Om San, kita langsung ke UGD di Rumh Sakit Panti Wiloso.”
“Ya, Bu,” jawab om San sambil berjalan mendahului kami untuk menyiapkan mobil. Saya dan mbak Endang serta om San yang mengantar ke rumah sakit. Suami dan ketiga anak saya menunggu di rumah.
Jarak rumah sakit dengan rumah saudara saya  tidaklah jauh. Kami hanya membutuhkan waktu 10 menit untuk sampai ke ruang UGD. Langsung mbah Ayi diperiksa oleh dokter dan diberi resep obat.
“Bagaimana dengan ibu saya, dokter?”
“Ada infeksi di usus halus. Ini saya beri resep untuk tiga hari. Bila tidak membaik besok langsung ke UGD, ya” kata dokter.
“Ya, dokter terima kasih.”
 Kami segera menuju ke ruang pengambilan obat. Mbah Ayi mendapatkan tiga macam obat yang harus di minum sesudah makan.dan ada satu obat yang harus diminum sebelum makan. Kami kembali ke rumah saudara. Mbah Ayi hanya mampu makan satu sendok saja. Rupanya mbah Ayi kesulitan minum obat. Saya berusaha mencairkan obat dengan satu sendok air panas. Akhirnya mbah Ayi bisa meminumnya.
Hari itu juga kami segera kembali ke Salatiga. Satu jam kemudian kami sudah tiba di rumah. Sepanjang malam saya tidak dapat tidur. Saya harus tetap terjaga dan memperhatikan terus mbah Ayi sambil saya pijit-pijit pelan kakinya. Sedikit-sedikit mbah Ayi mengeryitkan dahinya sampai kedua alisnya menyatu. Punggungnya sering digerak-gerakkan. Saya hanya bisa berdoa semoga mbah Ayi diberikan kekuatan dan kesembuhan. Saya harus bersabar menunggu pagi menjelang yang terasa sangat lama. Saya tidak akan menunggu sampai tiga hari untuk mengetahui efek obat yang telah diminum mbah Ayi. Sudah kuputuskan besok pagi mbah Ayi akan saya bawa ke RSUD Salatiga.
Pagi hari pukul 4, saya menelpon kakak suami saya yang tinggal di Kemiri. Saya minta tolong kepadanya untuk menemani suami dan anak-anak saya selama saya mendampingi mbah Ayi di rumah sakit. Tanpa menunggu kedatangan kakak, saya minta tolong kepada tetangga untuk mengantarkan kami ke RSUD. Mbah Ayi sudah tidak kuat untuk berjalan sendiri. Salah seorang tetangga menggendongnya dan membawanya masuk  ke dalam mobil. Mobi segera meluncur ke rumah sakit. 15 menit kemudian kami tiba di RSUD. Mbah Ayi langsung kami bawa ke ruang UGD. Di sana sudah siap beberapa perawat dan seorang dokter .
Perewat segera memberikan tindakan awal. Meereka memeriksa tekanan darah,  jantung dan pengambilan sampel darah mbah Ayi. Saya segeera  mengurus prosedur  administrasi untuk rawat inap. Dokter jaga di UGD mengatakan bahwa mbah Ayi harus ditangani secara intensif oleh dokter spesialis penyakit dalam. Saya disuruh memilih salah satu di antara para dokter spesialis penyakit dalam yang ada di RSUD. Saya langsung memiih dokter Rastri Mahardhika. Beliau adalah dokter yang memiliki dedikasi yang sangat tinggi, sabar dan rasa empatinya juga tinggi. Banyak sekali para pasien yang memilih ditangani oleh beliau. Setelah tindakan awal di UGD, mbah Ayi langsung dibawa ke ruang USG  kemudian di ruang Rontgen. Setelah selesai kedua pemeriksaan tersebut, mbah Ayi dibawa ke ruang Mawar kelas 1 untuk istirahat. Kami harus menunggu  hasil pemeriksaan dan kunjungan dokter penyakit dalam keesokan harinya.
Saya melihat mbah Ayi sudah tertidur. Mungkin pengaruh obat yang diuntukkan saat di UGD tadi. Saya merasa bersyukur setidaknya mbah Ayi tidak merasakan sakit untuk sementara. Kesempatan ini saya gunakan untuk menghubungi pihak sekolah di mana saya bekerja. Saya memohon ijin kepada kepala sekolah bahwa saya tidak dapat mengajar untuk beberapa hari. Beliau mengatakan bahwa saya tidak perlu khawatir.  Teman-teman di sekolah saya yang nanti akan membantu mengajar murid-murid di kelas saya. Saya merasa tenang dan saya dapat fokus mendampingi ibu saya selama di rumah sakit. Dalam hati saya sudah bertekat untuk tidak akan meninggalkan ibu saya selama dirawat. Saya ingin ibu saya merasa nyaman dan tenang dengan adanya saya di sampingnya.
Dari hasil pemeriksaan, mbah Ayi dinyatakan mengalami peradangan dan infesksi di organ pencernaan yaitu di usus halus. Sehari, dua hari, tiga hari, sampai hari keempat kondisi mbah Ayi semakin memburuk. Di hari kelima, dari mulut mbah Ayi mengekuarkan cairan kuning kecoklatan. Perut mbah Ayi juga semakin membesar sseperti orang hamil lima bulan. Dokter Rastri menyarankan untuk segera diambil tindakan operasi.
Bagi seorang yang sudah berusia lanjut, tindakan operasi akan membawa resiko tinggi. Mbah Ayi sudah berusia 78 tahun dan mempunyai kecenderunngan memiliki tekanan darah tinggi . Tetapi kalau tidak dioperasi, mbah Ayi akan merasakan semakin sakit  dan perutnya akan semakin membesar. Akhirnya dengan terpaksa saya harus menyetujui karena tidak ada tindakan alternatiff lainnya.
Mbah Ayi harus menjalani operasi laparatomi. Operasi ini harus dilakukan dengan pembiusan total (anastesi umum). Dengan anastesi ini, mbah Ayi  akan tertidur dan tidak akan  merasakan sakit selama operasi berlangsung.
Selama persiapan sebelum operasi, mbah Ayi harus menjalani serangkaian pemeriksaan  secara fisik  kembali. Pemeriksaan darah lengkap, tekanan darah, dan jantung kembali dilakukan. Mbah Ayi  juga harus berpuasa beberapa jam sebelum operasi. Tanpa disuruh puasapun, mbah Ayi sudah puasa dengan sendirinya karena mbah Ayi tidak mampu menelan makan sudah lebih dari 1 minggu.
Operasi akan dilaksanakan pagi hari jam 6. Satu hari sebelum operasi. Saya meminta tolong kepada bapak Hengky. Pak Hengky adalah salah seorang pengurus lingkungan kami. Beliau akan menemui Pastor Paroki. Pastor akan memberikan pengurapan minyak suci – Sakramen Minyak suci kepada mbah Ayi. Malam harinya  Pastor, pak Henky dan mas Joko, ketua wilayah kami, datang. Mbah Ayi masih belum tidur. Maka Sakramen Minyak Sucipun berlangsung. Sakramen ini memang diberikan pada saat pasien masih sadar dan hanya sekali. Kami semua merasa leha dan bersyukur karena mbah Ayi masih sempat menerima sakramen ini. Dukungan doa sangat dibutuhkan oleh pasien yang dalam kondisi kritis. Mbah Ayi akan menjadi lebih kuat iman dan iklas saat menderita sakit dan pasrah kepada Tuhan.
Pukul lima pagi, badan mbah Ayi dibasuh dengan air hangat dan diganti bajunya. Pukul 6 tepat dua orang perawat membawa mbah Ayi ke ruang operasi. Di depan pintu  ruang operasi, kami berhenti sebentar menunggu dibukakan pintu. Kesempatan singkat itu saya gunakan untuk mencium dahi dan kebua pipi mbah Ayi. Kata-kata penguat saya bisikan di telinga kirinya.
“Mbah Ayi, tenang ya mbah. Mbah tidak sendiri ada Tuhan dan malaikat pelindung yang menjaga mbah Ayi. Saya juga tunggu mbah, tetapi di luar ya mbah. Mbah berdoa saja Bapa Kami dan Salam Maria. Doa di dalam hati mbah Ayi tidak apa-apa. I love you,” Pintu kamar ruang operasi dibuka. Sambil tersenyum saya lepaskan genggaman tangan mbah Ayi. Kedua mata mbah Ayi yang berkaca-kaca tidak lepas-lepasnya memandangi saya  sampai pintu ditutup kembali.
Menunggu mbah Ayi yang sedang menjalani operasi adalah saat-saat yang sangat menegangkan. Saya tidak bisa berbagi perasaan dengan siapapun. Saya adalah anak angkat satu-satunya, Walaupun semasa mbah Ayi masih muda, beliau sudah banyak membimbing dan menyekolahkan beberapa keponakan. Tetapi saat inilah saya semakin menyadari cinta mbah Ayi kepada saya sangatlah besar. Beliau mau mendampingi saya dan keluarga saya hingga saat ini. Walaupun dalam perjalanan hidup saya sekeluarga mengalami banyak cobaan, beliau tetap setia. Seperti yang pernah dikatakannya bahwa beliau akan bersama saya sampai akhir hayatnya.
Tangan saya terasa amat dingin dan badan saya bergetar. Berkali-kali saya menarik nafas panjang. Saya berusaha menenangkan diri saya sendiri dengan memejamkan mata dan merusaha memusatkan pikiran  kepada Yang Maha Kuasa. Disinilah baru saya merasakan bahwa saya tidak mempunyai kekuatan apapun. Saya merasa seperti sebutir pasir di laut yang harus siap diterpa dan dihempas ombak. Saya katupkan kedua tangan. Saya tekan gigi-gigi saya sambil saya berusaha untuk berdoa. Bibir ini terasa bergetar menahan perasaan yang bercampur aduk.
“Keluarga Ibu Sri Hartati.” Tersentak saya dari kusuknya doa. Segera saya berdiri. Antara sadar dan tidak, seperti orang bingung, saya berusaha mencari sumber suara itu.
“Keluarga Ibu Sri Hartati, “ Kembali saya dengar panggilan itu.
“Ya...ya... saya,” jawab saya sambil berjalan cepat menghampiri dokter bedah dan seorang co-ass yang mengenakan jas  operasi berwarna hijau. dengan kain penutup kepala berwarna hujau pula. Dia berdiri di depan pintu ruang operasi dan co-assnya  menenteng tas plastik warna hitam.
“Ibu, operasinya sudah selesai. Kami terpaksa memotong usus halus ibu Sri Hartati sepanjang 1 m, karena usus tersebut mengalami pembusukan.”
“Pembusukan? Maksudnya?” tanyaku penasaran. Selama ini mbah Ayi tidak pernah mengeluh sakit perut. Mengapa bisa ada pembusukan.
“Terjadi intususepsi.
“Apa itu intususepsi , dokter?” tanyaku dengan perasaan tak menentu.
“Ada bagian usus halus yang terlipat dan terselip masuk ke usus halus. Ssehingga makanan atau cairan terbendung atau  tidak dapat mengalir. Ini berarti makanan terjebak di dalam usus halus tersebut. Proses ini sebenarnya sudah lama maka terjadilah pembusukan itu. Ada pula beberaga bagian dinding usus yang berlubang.”
Penjelasan ini membuat kepalaku mejadi pening sekali.
“Ini Bu, potongannya. Mau di bawa pulang atau biar di rumah sakit saja”
“Saya bawa pulang saja, Dok,” spontan saya jawab dan saya terima bungkusan tersebut.
“Kita tunggu Ibu Sri Hartati siuman dahulu. Kalau sudah sadar nanti langsung  dirawat di ruang ICU. Kita tunggu selama 5 hari pasca setelah operasi. Semoga ibu Sri dapat  melampau masa kritis  selama lima hari.”
“Ya, terima kasih, dokter,” hampir tidak terdengar suaraku menjawabnya. Tenggorokan ini terasa kering dan seperti ada sebuah batu yang menghalangi air liur saya .Untunglah saat itu ada tetangga yang datang. Mereka tinggal di sebelah kanan rumah saya. Mereka adalah keluarga yang sangat sederhana tetapi memiliki jiwa sosial yang tinggi. Kepada merekalah saya meminta tolong untuk menguburkan potongan usus halus mbah Ayi di samping kiri rumahku. Di situ terdapat tanah yang masih kosong yang saya rencanakan untuk membuat garasi mobil kelak.
Setelah 20 menit saya menunggu, pintu depan ruang operasi kembali. Mbah Ayi terbaring di tempat tidur dorong. Saya melihat mbah Ayi  sudah siuman. Saya sentuh pipi kanannya. dan saya panggil,“Mbah Ayi.” Mbah Ayi hanya menatapku seperti bingung, mungkin masih ada pengaruh obat bius.
Saya mengamati semua selang yang menempel di tubuh mbah Ayi. Saya  jadi teringat anak kedua saya, Silvia, saat dia mengalami perawatan di rumah sakit Elizabeth Semarang paska setelah operasi tahun 2013. Di mulut mbah Ayi masih terpasang alat ventilator. Dipasang pula selang kateter di saluran kemih untuk membantu pengeluaran urine. Selang infus juga dipasang sebagai sumber cairan. Mbah Ayi  tidak diperbolehkan makan dan minum selama beberapa hari setelah operasi. Bersamaan dengan selang infus ibuku juga diberi obet anti nyeri.
Di dalam ruangan ICU sudah ada lima pasien. Mbah Ayi mendapat tempat di sebelah barat dekat dengan tempat para perawat. Di samping kiri tempat tidur mbah Ayi  terdapat alat Patient Monitor atau Vital Sign Monitor. Alat ini berfungsi untuk memberikan informasi tentang keadaan pasien. Alat ini memiliki banyak selang yang dipasangkan ke tubuh mbah Ayi.  Alat ventilator dilepas. Di hidung mbah Ayi dipasang sebuah selang kecil menuju ke lambung yang berfungsi untuk membersihkan cairan lambung dan membantu mengistirahatkan lambung. Selain itu ditambahkan satu botol infus lagi. Dalam hati saya bertanya infus apa ini.
Setelah para perawat selesai mengatur tempat tidur dan semua alat yang dibutuhkan mbah Ayi, saya bertanya kepada salah satu perawat tentang Patient Monitor. Saya harus tahu kondisi mbah Ayi yang sebenarnya. Oleh karena itu saya harus paham informasi atau parameter yang ditampilkan oleh alat ini. Walaupun di ruang ICU pasien mendapat pengawasan yang lebih intensif, saya tetap harus ikut mengawasi perkembangan kondisi mbah Ayi.
“Mas , maaf saya boleh tanya?”
“Silakan, Bu.” jawab perawat laki-laki.
Aku lirik ada nama di atas saku kirinya.
“Maksud dari garis gelombang hijau ini apa ya, Mas Adi?”
“Ini Parameter  ECG (electrocardiogram), Bu. Parameter ini untuk mengetahui  laju denyut jantung. Laju yang normal adalah 60-100 denyut per menit.”
 Denyut jantung ibuku menunjukkan 80. Saya langsung merasa lega.
“Lantas yang garis hijau di bagian bawah ini untuk apa?”
“Ini adalah SpO2 atau Saturasi darah  untuk menunjukkan banyaknya oksigen di dalam darah pasien. Kalau pasien kekurangan oksigen maka transfer oksigen ke dalam darahpun akan berkurang.”.
“Dan yang garis merah ini ?”
“Ini untuk mendeteksi tekanan darah pasien atau istilah kedokteran namanya NIBP-Non Invasive Blood Pressure .  Tekanan darah yang normal adalah 120/80 .”
“Oh..” Tensi ibuku menunjukkkan 125/75
“Lantas ini infusnya ada tiga. Yang botol putih ini apa saja , Mas Adi?”
“Yang ini zat makanan dalam bentuk cairan glukosa dan elektrolit untuk mengganti cairan tubuh yang hilang.dan juga untuk memasukkan obat obatan. Botol yang agak keci ini untuk anti nyeri . Sedangkan botol yang agl besar ini adalah serum albumin
“Serum Albumin fungsinya apa, Mas?”
“Untuk mengatur tekanan dalam pembuluh darah. Selain itu juga untuk menjaga agar cairan yang terdapat pada pembuluh darah tidak bocor ke jaringan tubuh sekitarnya.”
“Oh gitu ya. Tetapi  tubuh sudah memiliki serum albumin sendiri khan, Mas?”
“Betul, Ibu. Tetapi serum albumin di tubuh ibu Sri sangat rendah.”
“Penyebabnya apa ya, Mas. Khok bisa rendah.”
“Biasanya karena pasien sudah kehilangan 20% cairan atau darah. Bisa juga karena pasien kekurangan gizi.
“Ya, betul. Ibu saya sudah satu minggu lebih tidak makan dan minum. Katanya selalu mau muntah. Terakhir sebelum dioperasi ibu saya muntah cairan berwarna kuning kecoklatan.”
“Ya, bu. Maaf Bu, saya harus tengok pasien lainnya.”
“Oh...ya...ya...silakan. Terima kasih ya, Mas.”
“Sama-sama, Bu.”
Saya tidak diperbolehkan menunggu mbah Ayi terus di samping tempat tidurnya. Semua  keluarga pasien yang dirawat di ruang ICU harus menunggu di luar. Kami disediakan ruang untuk istirahat di samping kanan dan kiri depan ruang ICU. Di ruang itulah kami menggelar tikar untuk menunggu. Kami juga harus tetap siaga karena sewaktu-waktu kami dipanggil perawat. Saya tidak dapat tidur sama sekali. Rasa ngantukpun tidak ada walaupun sudah lima hari tidak tidur. Kepala pening, kadang mata berkunang-kunang dan badan agak sempoyongan, itu yang saya rasakan. Saya sangat bersyukur karena Tuhan memberikan kekuatan kepada saya. Permohonan selalu saya ucapkan agar kekuatan ini tetap ada hingga mbah Ayi sembuh.
Ada perasaan gelisah dan takut selama menunggu. Setiap hari pasti ada pasien yang meninggal di ruang ICU. Jantung saya berdebar setiapkali ada nama keluarga yang dipanggil oleh perawat untuk masuk ke ruang ICU. Dan terdengar tangisan di ruang ICU. Satu persatu pasien meninggal dan meninggalkan ruang ICU dan masuk pasien lainnya. Keluarga pasien yang menunggu di ruang tunggu juga satu persatu pulang dan berganti dengan keluarga pasien lainnya. Sayalah keluarga pasiean  yang paling lama menunggu.
Berkali-kali saya menarik nafas panjang. Saya berfikir bahwa hidup mati adalah suatu misteri. Saya ingat kata-kata dokter. Lima hari adalah waktu yang dibutuhkan mbah Ayi untuk masa kritisnya. Ini sudah hari keempat. kondisi ibuku stabil. Tinggal satu hari lagi. Mbah Ayi akan  bisa dipindahkan ke ruang pemulihan.
Setiap pagi  mulai pukul 8 saya diperbolehkan menemani mbah Ayi. Tidak putus-putusnya doa saya panjatkan memohon kesembuhan untuk mbah Ayi.. Kadang mbah Ayi tersadar. Kadang pula mbah Ayi seperti tertidur.
Hari pertama hingga hari keempat kondisi mbah Ayi semakin membaik. Pada hari kelima, kondisi mbah Ayi menurun drastis dan mengalami koma. Kali ini rasanya berat sekali melangkah menghampiri mbah Ayi. Saya melihat mbah Ayi seperti tertidur sangat tenang. Dengan tangan gemetar saya pegang kedua kaki mbah Ayi,  tumpahlah air mata saya. Saya tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan kondisi seperti ini. Menunggu. Itulah satu satunya yang bisa saya lakukan. Menunggu keajaiban.
Walaupun mbah Ayi sedang koma, saya yakin mbah Ayi tetap bisa mendengar kata-kata saya. “Mbah Ayi cepat sembuh ya,  Kesembuhan mbah Ayi adalah hadiah terbesar untuk ulang tahun saya. Hari ini hari ulang tahun saya, Mbah. Mbah khan yang sering ingat. Mbah pasti membuatkan saya nasi kuning. Kangen nasi kuning buatannya mbah Ayi” Sambil kuciumi tangan kanan mbah Ayi. Saya amati seluruh badan mbah Ayi yang semakin hari semakin gemuk.
Lima hari lamanya mbah Ayi koma. Di hari keenam saya melihat di bagian perutnya ada yang basah berwarna agak kuning. Perut mbah Ayi juga semakin membesar.
“Mas, saya bisa bicara dengan dokter bedah?
“Ya, Bu. Sebentar lagi jam kunjungan dokter.”
“Saya boleh tunggu dokter di sini yang, mas/”
“Ya Bu”
“Oya mas. Mas tahu, mengapa ada cairan kuning yang keluar begini ya, mas?’
“Sepertinya terjadi infeksi. Ibu sebaiknya tanya langsung saja kepada dokter.”
“Ya, terima kasih.”
Lima menit kenudian dokter bedah datang. Saya langsung menghampirinya dan menanyakan kondisi mbah Ayi. “Bagaimana keadaan ibu saya, dokter. Mengapa perutnya membesar kembali dan terdapat cairan yang keluar?
“Terjadi infeksi kembali, Bu. Bagaimana kalau dioperasi kembali/”
“Hah! Operasi lagi, dokter?”
“Ya. Ini jalan satu-satunya. Karena terjadi pembusukan kembali. Ibu bisa bicarakan dahulu dengan anggota keluarga yang lain. Kalau sudah setuju segera kami lakukan tindakan operasi.”
“Tidak ada saudara yang lain. “
“Anak- anak yang lain?”
“Tidak ada anak yang lain. Saya, anak satu-satunya.”
“Oh...Baiklah. Ibu pertimbangkan dahulu.’
Saya langsung terduduk lemas di samping tempat tidur mbah Ayi. Ingin rasanya mulut ini berteriak, menangis sekeras-kerasnya. Saya gigit keras bibir bawah, jantung saya  berdetak kencang,  menahan emosi yang meluap hampir ke ubun-ubun. Perasaan marah, kecewa, sedih, dan takut bercampur menjadi satu.
Jam 10 pagi dokter penyakit dalam datang. Dia sudah angkat tangan. Tidak ada lagi yang dapat dia lakukan. Tetapi dia sempat menyarankan agar saya membawa mbah Ayi ke RS Karyadi atau Elizabeth  untuk dioperasi kembali. Minggu lalu saaat kondisi mbah Ayi agak kuat saja operasinya  gagal. Apalagi sekarang dalam kondisi kritis.
“Mbah Ayi, andaikan saya punya uang banyak, mbah Ayi tidak akan dirawat disini. Saya pasti akan membawa mbah Ayi ke RS Elizabeth. Mbah, maafkan saya. tidak mungkin saya meninggalkan jauh-jauh suami yang sedang strok. Saya juga tidak mungkin membiarkan anak-anak yang sedang menempuh ujian sendiri. Ya Tuhan apa yang harus saya lakukan.
Saya  kembali ke ruang tunggu. Beberapa orang menanyakan keadaan mbah Ayi. Saya menceritakan semuanya kepada mereka. Ada di antara saudara mereka yang pernah mengalami kegagalan dioperasi di RSUD Salatiga. Mereka langsung membawanya ke RS Elizabeth. Di sana pasien dioperasi kembali hingga memakan biaya Rp.130 juta. Tetapi akhirnya pasien tidak dapat bertahan.
Hari Selasa dan Rabu tanggal 18 dan 19 April tahun 2017 adalah hari yang bersejarah dalam hidup saya yang tidak pernah akan saya lupakan seumur hidup saya. Pagi hari setelah mbah Ayi dimandikan, saya diperbolehkan untuk duduk di kursi samping tempat tidur mbah Ayi  sambil kugenggam tangan kanannya yang mulai mendingin. Selang oksigen yang terpasang di hidungnya, dan selang infus yang menyalurkan sari makanan dan obat-obatan menempel di lengan kirinya. Kupandangi wajah mbah Ayi putuih bersih dan sangat tenang. Tidak ada gurata-guratan di dahi lagi seperti saat kesakitan   Pikiran saya menerawang  berpuluh-puluh tahun yang lalu di masa kecil saya.
“Ayo Susi makan dulu” perintah ibu  setiap pagi hari sebelum saya berangkat ke sekolah. Langsung perut saya terasa sakit begitu mendengar panggilan ibu untuk makan. Saat sarapan adalah saat yang paling menyiksa dalam hidup saya. Entah mengapa kalau saya melihat nasi atau bubur nasi perut saya langsung berontak. Saya tidak berani menyampaikan kepada ibu apa yang saya rasakan karena saya sangat takut kalau ibu akan marah. Dengan menahan rasa sakit perut, saya berusaha menyantap sarapan.
‘Kalau makan jangan dikulum. Makan itu dikunyah terus ditelan. Jangan diam saja begitu, Semakin lama makanan di mulutmu, rasanya akan semakin tidak enak.” Kata ibu.
Langsung saya mau muntah rasanya dan perut saya semakin sakit. Segera saya berlari ke kamar kecil. Saya muntahkan semua yang ada di dalam mulut.. Lega rasanya setelah isi perut keluar semua.
Saya kembali ke meja makan di
mana ibu dan ayah masih menunggu saya. Saya tidak tahu apa yang ada dalam pikiran mereka. Saya juga tidak berani memandang wajah mereka. Mereka diam seribu bahasa. Sarapan di piring saya masih utuh  dan saya semakin tidak berselera untuk makan.
“Diminum tehnya, Susi, ” suara ibu  memecahkan kesunyian.
Saya segera meminumnya.
“Dihabiskan minumnya,” kata ibu lagi. “Sudah sana berangkat. Nanti terlambat”
Saya cium tangan ayah dan ibu dan segera saya berlari ke luar untuk berangkat ke sekolah. Lega rasanya hati ini tidak jadi sarapan.
Insiden sarapan seperti itu selalu terjadi setiap pagi. Entah setelah hari keberapa ibu mengganti menu sarapan. Kali ini nasi, telur ceplok dan segelas susu murni.
“Ahhh...susu sapi...”. Mendengar kata susu sapi aja rasanya sudah mau muntah apalagi mencium baunya. Parahnya lagi disuruh meminumnya.
“Tidak mau makan? Ya sudah susunya aja diminum biar kuat,”  bujuk ibu.
Saya tetap berdiam di kursi sambil memegangi perut yang sudah berontak seperti tsunami. Terasa pula ada cairan asam yang mengalir di tenggorokan.
“Ayo cepat diminum, nanti kamu terlambat. Sudah jam enam lima belas menit,” kata ibu.
Dengan terpaksa saya mencoba meminumnya dan meyimpannya di mulut tanpa saya teguk sedikitpun. Saya menunggu reaksi ibu. Saat ibu pergi ke kamar, dengan cepat saya berlari menuju ke kamar kecil sambil saya bawa susu yang masih ada di dalam gelas. Saya buang semua susu dan saya muntahkan susu yang ada di dalam mulut. Segera saya kembali ke tempat duduk. Saya letakkan gelas kosong bekas susu di sebelah kanan saya.. Jantung saya  berdetak dengan keras menunggu kedatangan ibu sambil menerka-nerka kira-kira apa yang akan terjadi kemudian. Saya menahan hafas saat ibu menghampiri saya.
“Sudah berangkat sana. Jangan lari. Hati-hati di jalan. Langsung pulang. Jangan mampir-mampir,” pesan ibu.
“Ahhh...Puji Tuhan...,” kataku lirih sambil menghela nafas panjang.
Siang hari saya pulang sekolah. Tiba di rumah pukul 1. Seperti biasa ibu sudah menunggu di ruang tamu. Saya cium tangan ibu. Saya langsung menuju ke kamar untuk berganti pakaian. Saya lihat di meja makan sudah tersedia makan siang. Ibu serta ayah sudah duduk di sana. Nasi putih, sayur bening bayam dengan jagung sisir, tahu goreng , dan sambal tempe. Wow...menu kesukaan saya nih..
Tanpa banyak bicara kami bertiga makan. Rasanya nikmat sekali. Rasa lapar yang menyerang dan menu yang menantang. Saya habiskan sayur bayam dan tahu goreng. Yang tersisa hanya sambal tempe dan sedikit nasi.
Selesai makan, saya mencuci piring sambil bersenandung. Kali ini saya mencuci piring dengan senang hati. Saya mesarakan hidup  menjadi ringan.
Sekitar satu jam setelah makan siang, ibu dan ayah biasa tidur siang. Mereka sebenarnya juga berharap saya bisa tidur siang. Tetapi saya tidak pernah bisa tidur siang. Di dalam pikiran saya selalu ada aja yang ingin saya lakukan. Saat mereka tidur siang, saya  merasa bebas beraktivitas. Saya senang membaca majalah Bobo, menggambar, mainan jual-jualan, bermain dakon, bermain bekel dan masih banyak lagi. Satu hal yang harus saya ingat adalah saya harus selesai bermain pukul 4 sore. Setelah itu saya harus menyirami tanaman yang terdapat di samping kiri rumah kemudian mandi sore. Kalau tidak, siap-siap aja mendengar ibu mengomel..
Sore harinya, saya lihat ibu sudah duduk santai di ruang tengah. Beliau selalu kelihatan cantik walaupun tanpa riasan di wajahnya. Senyum manis menghias di bibirnya yang mungil.
“Susi, duduk dekat ibu sini,” pinta ibu.
Segera saya menghampiri ibu dan duduk di sampingnya. saya melihat di atas meja ada susu kaleng cap bendera – susu coklat dan sebungkus roti tawar, mangkok, gelas, tremos berisi air panas tentunya. dan sendok.
“Kita minum susu coklat dan makan roti tawar sama-sama, ya?” kata ibu.
Saya tidak menjawab. Tanpa menunggu jawaban dari saya , ibu menuangkan susu coklat ke dalam mangkok ditambah air panas  dan diaduknya. Ibu mencicipinya sedikit kemudian mengambil selembar roti tawar. Dimasukkannya roti tawar itu ke dalam mangkok lantas ibu memakannya. Saya hanya memandangi apa yang ibu lakukan. Ibu terus memakannya sampai habis. Saya menelan air liur. Rasanya ingin sekali saya memintanya. Setelah selesai, ibu menoleh kepada saya sambil bertanya,” Mau?”
Aku hanya menganggukkan kepala. Rasanya perut ini  menjadi lapar.
“Tuangkan susunya di mangkok,” kata ibu .
“Sudah segitu aja. Beri air panas sampai setengah mangkok,” kata ibu lagi,
Saya berfikir mengapa ibu tidak mau membuatkannya . Ada sedikit rasa kecewa dalam hati ini. Tetapi saya tidak berani membantah. Saya lakukan semua apa yang disuruh oleh ibu.
“Diaduk pelan-pelan. Masukkan roti tawarnya, Jangan diaduk. Jadi. Dimakan sekarang,” kata ibu.
Kuhirup aroma coklatnya dan berbisik, “Hmmm...enak baunya”
Batin saya  mengatakan,”Pasti rasanya juga enak.”
Saya makan sesendok demi sesendok. Saya rasakan betul teksturnya yang lembut, rasanya gurih, manis sedikit dan bau coklat yang menggoda. Tanpa terasa habislah satu mangkok susu coklat dengan roti tawar.
“Besok pagi mau sarapan seperti ini?” tanya ibu.
Saya tidak menjawab tetapi hanya menganggukkan kepala.
Esok harinya di meja makan sudah tersedia susu coklat satu gelas, roti tawar di piring, satu cup mentega, sendok dan  satu mangkok kosong. Saya ambil dua lembar roti dan saya olesi dengan mentega. Saya memakannya hingga habis lalu minum habis susu coklat hangat. Ibu memandangi saya sambil tersenyum saat saya menghabiskan sarapan saya.
Sejak itu ibu selaku menyediakan susu coklat hangat dengan ditemani roti tawar atau kadang roti mari regal. Sarapan pagi menjadi saat yang menyenangkan.
 Saya tersentak saat saya merasa ada tangan yang menyentuh bahu
“Ibu, ini infusnya dilepas saja karena tubuh pasien sudah menolaknya.” kata seorang perawat sambil melepas selang infus.
Saya raba tangan kanan mbah Ayi yang basah. Saya pikir itu air.
“Mbak, mengapa tangan ibu saya basah?”
“Albuminnya tidak dapat terserap, Bu”
“Ohh...”
Aku sudah paham betul apa artinya tindakan ini. Aku merasa menjadi anak yang egois. Aku sangat mengharapkan mbah Ayi siuman dan sembuh kembali  Sedangkan kondisinya sudah tidak memungkinkan. Saya pegang seluruh tubuh mbah Ayi dari kaki , tangan sudah dingin semua.
Saya bisik doa-doa di telinga mbah Ayi untuk menenangkan hatinya
Mungkin selama beberapa hari mbah Ayi berjuang untuk bertahan  karena mendengar doa permohonan untuk sembuh yang saya ucapkan setiap hari..
Akhirnya saya kuatkan hati untuk membisikkan kata-kata ke telinga mbah Ayi bahwa saya sudah mengiklaskannya bila memang mbah Ayi sudah waktunya untuk kembali kepada Bapa di surga.
“Kemarin ibu sudah menandatangani pernyataan menolak pemberian tindakan venilator dan kejut jantung, ya?” tanya perawat
“Ya, memang, mbak. Saya tidak tega. Saya tidak ingin ibu saya merasakan sakit.di saat terakhirnya. Kata perawat pemasangan ventilator bisa menciderai tenggorokan. Itu pasti sakit sekali, Mbak.”
“Ya, benar, Bu.”
Perawat satunya berkata,”Ibu keluar dulu ya,  kami akan merapikan semuanya. Nanti kalau sudah selesai, ibu saya panggil lagi.”
Segera saya keluar dengan menahan air mataku yang hampir jatuh.
Pukul 1 malam saya dipanggil perawat untuk menemani mbah Ayi. Saya melihat semuanya sudah rapi sekali. Baju sudah diganti, rambut sudah disisir. sprei dan selimutpun sudah diganti. Semua selang sudah dilepas tinggal masker oksigen yang masih dikenakan.
Saya perhatikan dengan seksama kondisi fisik mbah Ayi. Saya pegang kakinya yang dingin sekali seperti es. Demikian pula dengan tangannya yang juga sudah sama dinginnya dengan kaki. Saya lihat dada mbah Ayi sudah tidak ada gerakan . Ada sedikit gerakan di tenggorokan. Saya perhatikan daun telinganya juga sudah berubah. Saya cium dahi mbah Ayi dan saya belai ke dua pipinya.
“Mbah Ayi, I love ...love you sooo much.”
“Mbah Ayi tetap cantik  dan wangi.”
“Mbah, saya senang bisa nemani mbah Ayi. Mbah Ayi juga senang khan? Mbah, saya minta maaf. Selama ini selalu membuat mbah repot. Saya juga belum bisa membahagiakan mbah Ayi. Maafkan bapaknya anak-anak ya, mbah. Dia belum bisa menjadi menantu yang baik. Maafkan Amanda, Silvia dan Thesa. Mereka membuat mbah Ayi capek.”
“Yakinlah Mbah. Mbah pasti masuk surga, Mbak khan orang yang sangat baik. Tuhan sangat sayang sama Mbah. Mbah Ayi jangan takut. Mbah Ayi sudah senbuh sekarang. Kita berdoa yuk, Mbah.”
“Mbak, suster, tolong saya ditemani.”
Segera saya panjatkan doa di telinga mbah Ayi sambil saya elus-elus rambut dan dahi imbah Ayi. Tanpa putus-putusnya doa saya panjatkan. Hingga saya melihat mbah Ayi  sedikit membuka kedua matanya dan menarik nafas dan kemudian kedua mata ibu terpejam. Itulah detik-detik terakhir saya mendampingi mbah Ayi – ibu saya. Perasaan saya bercampur aduk, antara takut, sedih, dan lega. Saya lihat jam di dinding tepat pukul 2 dini hari. Ruangan ICU semakin terasa dingin dan sunyi.
Saya berusaha menahan tangis tetapi air mata ini mengalir terus tak henti. Ada rasa sesal yang mendalam dalam hati ini teringat beberapa permintaan mbah Ayi yang belum sempat saya kabulkan semasa hidupnya. Saya merasa seperti ada jarum menusuk jantung ini. Terasa sakit dan menyayat hati. Saya menarik nafas panjang berkali-kali. Kata orang kita tidak boleh menangisi orang yang sudah meninggal. Saya bersyukur karena  mbah Ayi tidak sendiri di saat terakhirnya. Saya bersyukur pula karena saya mampu mendampinginya berpulang ke rumah Bapa.
Ibu, hanya itu yang bisa saya lakukan untukmu. Tidak sebanding dengan apa yang sudah ibu lakukan untuk saya selama ini. Engkau bukan hanya seorang ibu bagi saya tetapi juga sahabat yang sejati yang selalu mengerti diri saya, yang selalu ada di saat saya membutuhkan.
Pergilah ibu jangan khawatirkan saya lagi. Cintamu tidak akan pernah sirna. walau badan kita berpisah tetapi jiwa kita tetap menyatu. Seperti mutiara yang selalu tersimpan di dalam hati ini. Terima kasih ibu untuk segalanya. Berbahagialah ibu di rumah Bapa. I DO LOVE YOU, IBU..