Mutiara Hati
oleh
Natalia Susiana DA
WA : 088215744200
Rasa dingin beranjak
dari bumi dengan enggan dan kabut menghilang. Berganti dengan sang surya yang
berwarna merah di langit biru yang menyapa perumahan Gunung Sari dengan
ramahnya. Sinar mentari menembus rindangnya pepohonan di area perumahan.
Cahayanya memancar hingga ke dalam ruang makan rumah kami, keluarga Santoso,
melewati pintu dan jendela yang senantiasa dibuka setiap pagi. Udara yang
hangat dengan hembusan angin yang lembut dari arah timur membuat kami
bersemangat untuk duduk dan sarapan.
Jam dinding menunjukkan
pukul 6,30 WIB. Saya membiasakan
keluarga saya untuk bangun pagi, mandi dan sarapan, walaupun hari Minggu. Kami berencana pergi ke gereja pukul 7 untuk
mengikuti Misa kedua setelah sarapan. Biasanya kami berenam, ibu saya yang
biasa dipanggil “Mbah Ayi” , suami saya, ketiga anak gadis saya dan saya. Kami duduk
mengelilingi meja makan yang terbuat dari kayu jati berwarna coklat. Tetapi
saat itu hanya kami berlima karena mbah Ayi masih berada di Semarang. Mbah Ayi bersikares
untuk mengikuti tahlilan selama tujuh
hari. Tahlilan untuk kakaknya atau mbah
kakung, panggilan yang biasa kami gunakan untuk beliau. Mbah kakung meninggal
tanggal 29 Maret 2017.
Saya sedang menyuapi suami saya. Dia belum mampu untuk makan sendiri karena menderita strok. Tiba-tiba
terdengar gawai saya berdering di ruang
tengah.
“Ibu ada telpon,” teriak
Amanda.
“Thesa, tolong lihat
telpon dari siapa,” saya meminta kepada anak bungsu saya yang duduknya paling
dekat dengan ruang tengah. Segera Thesa beranjak dari tempat duduknya.
“Ibu dari budhe Endang,”seru
Thesa..
“Ya, tolong dibuka
aja.” Saya biarkan anakku menjawab telepon.
Selang beberapa menit,
Thesa kembali ke tempat duduknya sambil berkata,”Ibu disuruh untuk menjemput
mbah Ayi sekarang. Mbah Ayi minta pulang.”
“Ya, cepat selesaikan
sarapannya. Kita jemput mbah Ayi langsung setelah pulang dari gereja,” kata
saya sambil saya terus berfikir. Seharusnya mbah Ayi masih 3 hari lagi di sana.
Tahlilan akan berlangsung selama tujuh hari berturut-turut. Mengapa baru hari
keempat mbah Ayi sudah minta pulang. Ada apa gerangan dengan mbah Ayi. Ya Tuhan
semoga tidak terjadi yang buruk dengan mbah Ayi. Saya berusaha tetap tenang.
Supaya suami dan ketiga anak saya juga tenang.
“Aduh, ibu hampir lupa.
Silvi, tolong telpon om San untuk mengantar kita ke gereja. Bilang juga kita
akan langsung ke Semarang. Kita mungkin pulang sore.”
Tanpa berkata sepatah
katapun, Silvi langsung menghubungi om San.
Semenjak suami saya
terkena serangan strok dia tidak mampu lagi membawa mobil. Sehingga terpaksa
kami menyewa sopir untuk mengantarkan kami sekeluarga kemanapun kami pergi. Ada
beberapa orang yang berkenan mengantar kami. Tetapi kami memilih om San karena
dia lebih paham rute-rute di luar kota.
Selama ibadah di gereja,
saya tidak bisa berkonsentrasi. Dalam pikiran saya hanya ada mbah Ayi. Jantung
saya terasa berdetak kencang dan kedua mata saya berkaca-kaca hingga mengaburkan
pandangan.
“Ibu nangis?” tanya
Amanda sambil menandang mata saya lekat-lekat. Dengan segera ia mengambil
kertas tissu di dalam tas dan berusaha
mengusap air saya yang mulai jatuh di pipi saya. Perhatian Amanda ini membuat
saya tidak mampu membendung air mata. Dia anak sulung saya yang paling mengerti
suasana hati ibunya. Rasa empatinya tinggi sekali. Satu kelebihan yang dia
miliki meski banyak kekurangan yang dia sandang. Saya selalu bersyukur atas
kharakter mulia yang Amanda miliki. Saya tidak tahu mengapa saya menangis. Yang
saya rasakan adalah perasaan takut.
Usai ibadah di gereja,
kami langsung menuju ke rumah saudara di Semarang untuk menjemput mbah Ayi.
Selama perjalanan, kami semua tidak ada yang berbicara. Biasanya Amanda
menanyakan banyak hal, tetapi kali inipun dia ikut terdiam. Setiba di rumah
saudara saya, saya langsung bertanya, “Mana mbah Ayi, Mbak Endang?”
“Di kamar tengah,” jawabnya
sambil mengikuti langkah saya yang langsung menuju ke kamar tengah.
“Mbah Ayi.” sapa saya
pelan sambil saya cium dahinya dan kedua pipinya. Saya lihat raut wajahnya
pucat. mulutnya terkatup rapat. Kelihatan sekali kalau beliau menahan rasa
sakit.
“Ayo Mbah, kita ke
rumah sakit.’
“Pulang saja,” pinta
mbah Ayi dengan suara yang sangat lirih.
“Ya Mbah, kita akan
pulang. Tetapi sebelum pulang, kita periksa ke dokter dulu. Supaya mbah Ayi
dapat minum obat. Siapa tahu nanti kalau
mbah sudah minum obat, rasa sakitnya akan berkurang.”
“Periksa dokter di Salatiga saja.” mbah Ayi
masih berusaha menolak untuk diajak ke dokter.
“Ya, besok kita periksa
ke dokter di Salatiga. Sekarang ke rumah sakit Panti Wiloso dulu, yuk,” bujuk
saya sambil saya membantu mbah Ayi untuk duduk dan saya menyisir rambutnya.
“Dari kemarin, mbah Ayi
tidak mau makan. Mau muntah terus,” kata mbah Uti, istri dari mbah kakung.
“Iya Mbah Ayi, mau
muntah terus? “ tanya saya lembut sambil saya gandeng tangannya untuk berjalan
menuju ruang tamu.
“Iya, perut sakit
sekali, mulut pahit sekali,” kata mbah Ayi.
“Wah, tubuh mbah Ayi
pasti lemas sekali tidak makan dari kemarin Yuk kita segera berangkat. Om San,
kita langsung ke UGD di Rumh Sakit Panti Wiloso.”
“Ya, Bu,” jawab om San
sambil berjalan mendahului kami untuk menyiapkan mobil. Saya dan mbak Endang serta
om San yang mengantar ke rumah sakit. Suami dan ketiga anak saya menunggu di
rumah.
Jarak rumah sakit
dengan rumah saudara saya tidaklah jauh.
Kami hanya membutuhkan waktu 10 menit untuk sampai ke ruang UGD. Langsung mbah
Ayi diperiksa oleh dokter dan diberi resep obat.
“Bagaimana dengan ibu
saya, dokter?”
“Ada infeksi di usus
halus. Ini saya beri resep untuk tiga hari. Bila tidak membaik besok langsung
ke UGD, ya” kata dokter.
“Ya, dokter terima
kasih.”
Kami segera menuju ke ruang pengambilan obat.
Mbah Ayi mendapatkan tiga macam obat yang harus di minum sesudah makan.dan ada
satu obat yang harus diminum sebelum makan. Kami kembali ke rumah saudara. Mbah
Ayi hanya mampu makan satu sendok saja. Rupanya mbah Ayi kesulitan minum obat.
Saya berusaha mencairkan obat dengan satu sendok air panas. Akhirnya mbah Ayi
bisa meminumnya.
Hari itu juga kami
segera kembali ke Salatiga. Satu jam kemudian kami sudah tiba di rumah.
Sepanjang malam saya tidak dapat tidur. Saya harus tetap terjaga dan memperhatikan
terus mbah Ayi sambil saya pijit-pijit pelan kakinya. Sedikit-sedikit mbah Ayi
mengeryitkan dahinya sampai kedua alisnya menyatu. Punggungnya sering
digerak-gerakkan. Saya hanya bisa berdoa semoga mbah Ayi diberikan kekuatan dan
kesembuhan. Saya harus bersabar menunggu pagi menjelang yang terasa sangat
lama. Saya tidak akan menunggu sampai tiga hari untuk mengetahui efek obat yang
telah diminum mbah Ayi. Sudah kuputuskan besok pagi mbah Ayi akan saya bawa ke
RSUD Salatiga.
Pagi hari pukul 4, saya
menelpon kakak suami saya yang tinggal di Kemiri. Saya minta tolong kepadanya untuk
menemani suami dan anak-anak saya selama saya mendampingi mbah Ayi di rumah
sakit. Tanpa menunggu kedatangan kakak, saya minta tolong kepada tetangga untuk
mengantarkan kami ke RSUD. Mbah Ayi sudah tidak kuat untuk berjalan sendiri.
Salah seorang tetangga menggendongnya dan membawanya masuk ke dalam mobil. Mobi segera meluncur ke rumah
sakit. 15 menit kemudian kami tiba di RSUD. Mbah Ayi langsung kami bawa ke
ruang UGD. Di sana sudah siap beberapa perawat dan seorang dokter .
Perewat segera
memberikan tindakan awal. Meereka memeriksa tekanan darah, jantung dan pengambilan sampel darah mbah
Ayi. Saya segeera mengurus prosedur administrasi untuk rawat inap. Dokter jaga di
UGD mengatakan bahwa mbah Ayi harus ditangani secara intensif oleh dokter
spesialis penyakit dalam. Saya disuruh memilih salah satu di antara para dokter
spesialis penyakit dalam yang ada di RSUD. Saya langsung memiih dokter Rastri
Mahardhika. Beliau adalah dokter yang memiliki dedikasi yang sangat tinggi,
sabar dan rasa empatinya juga tinggi. Banyak sekali para pasien yang memilih
ditangani oleh beliau. Setelah tindakan awal di UGD, mbah Ayi langsung dibawa
ke ruang USG kemudian di ruang Rontgen.
Setelah selesai kedua pemeriksaan tersebut, mbah Ayi dibawa ke ruang Mawar
kelas 1 untuk istirahat. Kami harus menunggu hasil pemeriksaan dan kunjungan dokter
penyakit dalam keesokan harinya.
Saya melihat mbah Ayi
sudah tertidur. Mungkin pengaruh obat yang diuntukkan saat di UGD tadi. Saya
merasa bersyukur setidaknya mbah Ayi tidak merasakan sakit untuk sementara.
Kesempatan ini saya gunakan untuk menghubungi pihak sekolah di mana saya
bekerja. Saya memohon ijin kepada kepala sekolah bahwa saya tidak dapat
mengajar untuk beberapa hari. Beliau mengatakan bahwa saya tidak perlu
khawatir. Teman-teman di sekolah saya
yang nanti akan membantu mengajar murid-murid di kelas saya. Saya merasa tenang
dan saya dapat fokus mendampingi ibu saya selama di rumah sakit. Dalam hati
saya sudah bertekat untuk tidak akan meninggalkan ibu saya selama dirawat. Saya
ingin ibu saya merasa nyaman dan tenang dengan adanya saya di sampingnya.
Dari hasil pemeriksaan,
mbah Ayi dinyatakan mengalami peradangan dan infesksi di organ pencernaan yaitu
di usus halus. Sehari, dua hari, tiga hari, sampai hari keempat kondisi mbah
Ayi semakin memburuk. Di hari kelima, dari mulut mbah Ayi mengekuarkan cairan
kuning kecoklatan. Perut mbah Ayi juga semakin membesar sseperti orang hamil lima
bulan. Dokter Rastri menyarankan untuk segera diambil tindakan operasi.
Bagi seorang yang sudah
berusia lanjut, tindakan operasi akan membawa resiko tinggi. Mbah Ayi sudah
berusia 78 tahun dan mempunyai kecenderunngan memiliki tekanan darah tinggi .
Tetapi kalau tidak dioperasi, mbah Ayi akan merasakan semakin sakit dan perutnya akan semakin membesar. Akhirnya
dengan terpaksa saya harus menyetujui karena tidak ada tindakan alternatiff
lainnya.
Mbah Ayi harus
menjalani operasi laparatomi. Operasi
ini harus dilakukan dengan pembiusan total (anastesi umum). Dengan anastesi
ini, mbah Ayi akan tertidur dan tidak
akan merasakan sakit selama operasi
berlangsung.
Selama persiapan sebelum
operasi, mbah Ayi harus menjalani serangkaian pemeriksaan secara fisik kembali. Pemeriksaan darah lengkap, tekanan
darah, dan jantung kembali dilakukan. Mbah Ayi juga harus berpuasa beberapa jam sebelum
operasi. Tanpa disuruh puasapun, mbah Ayi sudah puasa dengan sendirinya karena
mbah Ayi tidak mampu menelan makan sudah lebih dari 1 minggu.
Operasi akan
dilaksanakan pagi hari jam 6. Satu hari sebelum operasi. Saya meminta tolong
kepada bapak Hengky. Pak Hengky adalah salah seorang pengurus lingkungan kami. Beliau
akan menemui Pastor Paroki. Pastor akan memberikan pengurapan minyak suci –
Sakramen Minyak suci kepada mbah Ayi. Malam harinya Pastor, pak Henky dan mas Joko, ketua wilayah
kami, datang. Mbah Ayi masih belum tidur. Maka Sakramen Minyak Sucipun berlangsung.
Sakramen ini memang diberikan pada saat pasien masih sadar dan hanya sekali.
Kami semua merasa leha dan bersyukur karena mbah Ayi masih sempat menerima
sakramen ini. Dukungan doa sangat dibutuhkan oleh pasien yang dalam kondisi
kritis. Mbah Ayi akan menjadi lebih kuat iman dan iklas saat menderita sakit
dan pasrah kepada Tuhan.
Pukul lima pagi, badan
mbah Ayi dibasuh dengan air hangat dan diganti bajunya. Pukul 6 tepat dua orang
perawat membawa mbah Ayi ke ruang operasi. Di depan pintu ruang operasi, kami berhenti sebentar menunggu
dibukakan pintu. Kesempatan singkat itu saya gunakan untuk mencium dahi dan
kebua pipi mbah Ayi. Kata-kata penguat saya bisikan di telinga kirinya.
“Mbah Ayi, tenang ya
mbah. Mbah tidak sendiri ada Tuhan dan malaikat pelindung yang menjaga mbah
Ayi. Saya juga tunggu mbah, tetapi di luar ya mbah. Mbah berdoa saja Bapa Kami
dan Salam Maria. Doa di dalam hati mbah Ayi tidak apa-apa. I love you,” Pintu
kamar ruang operasi dibuka. Sambil tersenyum saya lepaskan genggaman tangan
mbah Ayi. Kedua mata mbah Ayi yang berkaca-kaca tidak lepas-lepasnya memandangi
saya sampai pintu ditutup kembali.
Menunggu mbah Ayi yang
sedang menjalani operasi adalah saat-saat yang sangat menegangkan. Saya tidak
bisa berbagi perasaan dengan siapapun. Saya adalah anak angkat satu-satunya, Walaupun
semasa mbah Ayi masih muda, beliau sudah banyak membimbing dan menyekolahkan
beberapa keponakan. Tetapi saat inilah saya semakin menyadari cinta mbah Ayi kepada
saya sangatlah besar. Beliau mau mendampingi saya dan keluarga saya hingga saat
ini. Walaupun dalam perjalanan hidup saya sekeluarga mengalami banyak cobaan, beliau
tetap setia. Seperti yang pernah dikatakannya bahwa beliau akan bersama saya sampai
akhir hayatnya.
Tangan saya terasa amat
dingin dan badan saya bergetar. Berkali-kali saya menarik nafas panjang. Saya
berusaha menenangkan diri saya sendiri dengan memejamkan mata dan merusaha
memusatkan pikiran kepada Yang Maha
Kuasa. Disinilah baru saya merasakan bahwa saya tidak mempunyai kekuatan
apapun. Saya merasa seperti sebutir pasir di laut yang harus siap diterpa dan
dihempas ombak. Saya katupkan kedua tangan. Saya tekan gigi-gigi saya sambil
saya berusaha untuk berdoa. Bibir ini terasa bergetar menahan perasaan yang
bercampur aduk.
“Keluarga Ibu Sri
Hartati.” Tersentak saya dari kusuknya doa. Segera saya berdiri. Antara sadar
dan tidak, seperti orang bingung, saya berusaha mencari sumber suara itu.
“Keluarga Ibu Sri
Hartati, “ Kembali saya dengar panggilan itu.
“Ya...ya... saya,” jawab
saya sambil berjalan cepat menghampiri dokter bedah dan seorang co-ass yang
mengenakan jas operasi berwarna hijau.
dengan kain penutup kepala berwarna hujau pula. Dia berdiri di depan pintu
ruang operasi dan co-assnya menenteng
tas plastik warna hitam.
“Ibu, operasinya sudah
selesai. Kami terpaksa memotong usus halus ibu Sri Hartati sepanjang 1 m, karena
usus tersebut mengalami pembusukan.”
“Pembusukan? Maksudnya?”
tanyaku penasaran. Selama ini mbah Ayi tidak pernah mengeluh sakit perut.
Mengapa bisa ada pembusukan.
“Terjadi intususepsi.”
“Apa itu intususepsi , dokter?” tanyaku dengan
perasaan tak menentu.
“Ada bagian usus halus yang
terlipat dan terselip masuk ke usus halus. Ssehingga makanan atau cairan
terbendung atau tidak dapat mengalir.
Ini berarti makanan terjebak di dalam usus halus tersebut. Proses ini
sebenarnya sudah lama maka terjadilah pembusukan itu. Ada pula beberaga bagian dinding
usus yang berlubang.”
Penjelasan ini membuat
kepalaku mejadi pening sekali.
“Ini Bu, potongannya.
Mau di bawa pulang atau biar di rumah sakit saja”
“Saya bawa pulang saja,
Dok,” spontan saya jawab dan saya terima bungkusan tersebut.
“Kita tunggu Ibu Sri
Hartati siuman dahulu. Kalau sudah sadar nanti langsung dirawat di ruang ICU. Kita tunggu selama 5
hari pasca setelah operasi. Semoga ibu Sri dapat melampau masa kritis selama lima hari.”
“Ya, terima kasih,
dokter,” hampir tidak terdengar suaraku menjawabnya. Tenggorokan ini terasa
kering dan seperti ada sebuah batu yang menghalangi air liur saya .Untunglah
saat itu ada tetangga yang datang. Mereka tinggal di sebelah kanan rumah saya. Mereka
adalah keluarga yang sangat sederhana tetapi memiliki jiwa sosial yang tinggi.
Kepada merekalah saya meminta tolong untuk menguburkan potongan usus halus mbah
Ayi di samping kiri rumahku. Di situ terdapat tanah yang masih kosong yang saya
rencanakan untuk membuat garasi mobil kelak.
Setelah 20 menit saya
menunggu, pintu depan ruang operasi kembali. Mbah Ayi terbaring di tempat tidur
dorong. Saya melihat mbah Ayi sudah
siuman. Saya sentuh pipi kanannya. dan saya panggil,“Mbah Ayi.” Mbah Ayi hanya
menatapku seperti bingung, mungkin masih ada pengaruh obat bius.
Saya mengamati semua
selang yang menempel di tubuh mbah Ayi. Saya
jadi teringat anak kedua saya, Silvia, saat dia mengalami perawatan di
rumah sakit Elizabeth Semarang paska setelah operasi tahun 2013. Di mulut mbah
Ayi masih terpasang alat ventilator.
Dipasang pula selang kateter di saluran kemih untuk membantu pengeluaran urine.
Selang infus juga dipasang sebagai sumber cairan. Mbah Ayi tidak diperbolehkan makan dan minum selama
beberapa hari setelah operasi. Bersamaan dengan selang infus ibuku juga diberi
obet anti nyeri.
Di dalam ruangan ICU
sudah ada lima pasien. Mbah Ayi mendapat tempat di sebelah barat dekat dengan
tempat para perawat. Di samping kiri tempat tidur mbah Ayi terdapat alat Patient Monitor atau Vital
Sign Monitor. Alat ini berfungsi untuk memberikan informasi tentang keadaan
pasien. Alat ini memiliki banyak selang yang dipasangkan ke tubuh mbah Ayi. Alat ventilator dilepas. Di hidung mbah Ayi
dipasang sebuah selang kecil menuju ke lambung yang berfungsi untuk
membersihkan cairan lambung dan membantu mengistirahatkan lambung. Selain itu
ditambahkan satu botol infus lagi. Dalam hati saya bertanya infus apa ini.
Setelah para perawat
selesai mengatur tempat tidur dan semua alat yang dibutuhkan mbah Ayi, saya
bertanya kepada salah satu perawat tentang Patient
Monitor. Saya harus tahu kondisi mbah Ayi yang sebenarnya. Oleh karena itu
saya harus paham informasi atau parameter yang ditampilkan oleh alat ini. Walaupun
di ruang ICU pasien mendapat pengawasan yang lebih intensif, saya tetap harus
ikut mengawasi perkembangan kondisi mbah Ayi.
“Mas , maaf saya boleh
tanya?”
“Silakan, Bu.” jawab
perawat laki-laki.
Aku lirik ada nama di
atas saku kirinya.
“Maksud dari garis
gelombang hijau ini apa ya, Mas Adi?”
“Ini Parameter ECG
(electrocardiogram), Bu. Parameter ini untuk mengetahui laju denyut jantung. Laju yang normal adalah
60-100 denyut per menit.”
Denyut jantung ibuku menunjukkan 80. Saya
langsung merasa lega.
“Lantas yang garis
hijau di bagian bawah ini untuk apa?”
“Ini adalah SpO2 atau Saturasi darah untuk menunjukkan banyaknya oksigen di dalam
darah pasien. Kalau pasien kekurangan oksigen maka transfer oksigen ke dalam
darahpun akan berkurang.”.
“Dan yang garis merah
ini ?”
“Ini untuk mendeteksi
tekanan darah pasien atau istilah kedokteran namanya NIBP-Non Invasive Blood Pressure . Tekanan darah yang normal adalah 120/80 .”
“Oh..” Tensi ibuku
menunjukkkan 125/75
“Lantas ini infusnya
ada tiga. Yang botol putih ini apa saja , Mas Adi?”
“Yang ini zat makanan
dalam bentuk cairan glukosa dan elektrolit untuk mengganti cairan tubuh
yang hilang.dan juga untuk memasukkan obat obatan. Botol yang agak keci ini
untuk anti nyeri . Sedangkan botol yang agl besar ini adalah serum albumin”
“Serum Albumin
fungsinya apa, Mas?”
“Untuk mengatur tekanan
dalam pembuluh darah. Selain itu juga untuk menjaga agar cairan yang terdapat
pada pembuluh darah tidak bocor ke jaringan tubuh sekitarnya.”
“Oh gitu ya. Tetapi tubuh sudah memiliki serum albumin sendiri
khan, Mas?”
“Betul, Ibu. Tetapi
serum albumin di tubuh ibu Sri sangat rendah.”
“Penyebabnya apa ya,
Mas. Khok bisa rendah.”
“Biasanya karena pasien
sudah kehilangan 20% cairan atau darah. Bisa juga karena pasien kekurangan
gizi.
“Ya, betul. Ibu saya
sudah satu minggu lebih tidak makan dan minum. Katanya selalu mau muntah.
Terakhir sebelum dioperasi ibu saya muntah cairan berwarna kuning kecoklatan.”
“Ya, bu. Maaf Bu, saya
harus tengok pasien lainnya.”
“Oh...ya...ya...silakan.
Terima kasih ya, Mas.”
“Sama-sama, Bu.”
Saya tidak diperbolehkan
menunggu mbah Ayi terus di samping tempat tidurnya. Semua keluarga pasien yang dirawat di ruang ICU
harus menunggu di luar. Kami disediakan ruang untuk istirahat di samping kanan
dan kiri depan ruang ICU. Di ruang itulah kami menggelar tikar untuk menunggu.
Kami juga harus tetap siaga karena sewaktu-waktu kami dipanggil perawat. Saya
tidak dapat tidur sama sekali. Rasa ngantukpun tidak ada walaupun sudah lima
hari tidak tidur. Kepala pening, kadang mata berkunang-kunang dan badan agak
sempoyongan, itu yang saya rasakan. Saya sangat bersyukur karena Tuhan
memberikan kekuatan kepada saya. Permohonan selalu saya ucapkan agar kekuatan
ini tetap ada hingga mbah Ayi sembuh.
Ada perasaan gelisah
dan takut selama menunggu. Setiap hari pasti ada pasien yang meninggal di ruang
ICU. Jantung saya berdebar setiapkali ada nama keluarga yang dipanggil oleh
perawat untuk masuk ke ruang ICU. Dan terdengar tangisan di ruang ICU. Satu
persatu pasien meninggal dan meninggalkan ruang ICU dan masuk pasien lainnya.
Keluarga pasien yang menunggu di ruang tunggu juga satu persatu pulang dan berganti
dengan keluarga pasien lainnya. Sayalah keluarga pasiean yang paling lama menunggu.
Berkali-kali saya
menarik nafas panjang. Saya berfikir bahwa hidup mati adalah suatu misteri.
Saya ingat kata-kata dokter. Lima hari adalah waktu yang dibutuhkan mbah Ayi
untuk masa kritisnya. Ini sudah hari keempat. kondisi ibuku stabil. Tinggal
satu hari lagi. Mbah Ayi akan bisa
dipindahkan ke ruang pemulihan.
Setiap pagi mulai pukul 8 saya diperbolehkan menemani
mbah Ayi. Tidak putus-putusnya doa saya panjatkan memohon kesembuhan untuk mbah
Ayi.. Kadang mbah Ayi tersadar. Kadang pula mbah Ayi seperti tertidur.
Hari pertama hingga
hari keempat kondisi mbah Ayi semakin membaik. Pada hari kelima, kondisi mbah
Ayi menurun drastis dan mengalami koma. Kali ini rasanya berat sekali melangkah
menghampiri mbah Ayi. Saya melihat mbah Ayi seperti tertidur sangat tenang.
Dengan tangan gemetar saya pegang kedua kaki mbah Ayi, tumpahlah air mata saya. Saya tidak tahu apa
yang harus dilakukan dengan kondisi seperti ini. Menunggu. Itulah satu satunya
yang bisa saya lakukan. Menunggu keajaiban.
Walaupun mbah Ayi
sedang koma, saya yakin mbah Ayi tetap bisa mendengar kata-kata saya. “Mbah Ayi
cepat sembuh ya, Kesembuhan mbah Ayi
adalah hadiah terbesar untuk ulang tahun saya. Hari ini hari ulang tahun saya,
Mbah. Mbah khan yang sering ingat. Mbah pasti membuatkan saya nasi kuning. Kangen
nasi kuning buatannya mbah Ayi” Sambil kuciumi tangan kanan mbah Ayi. Saya
amati seluruh badan mbah Ayi yang semakin hari semakin gemuk.
Lima hari lamanya mbah
Ayi koma. Di hari keenam saya melihat di bagian perutnya ada yang basah
berwarna agak kuning. Perut mbah Ayi juga semakin membesar.
“Mas, saya bisa bicara
dengan dokter bedah?
“Ya, Bu. Sebentar lagi
jam kunjungan dokter.”
“Saya boleh tunggu dokter
di sini yang, mas/”
“Ya Bu”
“Oya mas. Mas tahu,
mengapa ada cairan kuning yang keluar begini ya, mas?’
“Sepertinya terjadi
infeksi. Ibu sebaiknya tanya langsung saja kepada dokter.”
“Ya, terima kasih.”
Lima menit kenudian
dokter bedah datang. Saya langsung menghampirinya dan menanyakan kondisi mbah
Ayi. “Bagaimana keadaan ibu saya, dokter. Mengapa perutnya membesar kembali dan
terdapat cairan yang keluar?
“Terjadi infeksi
kembali, Bu. Bagaimana kalau dioperasi kembali/”
“Hah! Operasi lagi,
dokter?”
“Ya. Ini jalan
satu-satunya. Karena terjadi pembusukan kembali. Ibu bisa bicarakan dahulu
dengan anggota keluarga yang lain. Kalau sudah setuju segera kami lakukan
tindakan operasi.”
“Tidak ada saudara yang
lain. “
“Anak- anak yang lain?”
“Tidak ada anak yang
lain. Saya, anak satu-satunya.”
“Oh...Baiklah. Ibu
pertimbangkan dahulu.’
Saya langsung terduduk lemas di samping
tempat tidur mbah Ayi. Ingin rasanya mulut ini berteriak, menangis
sekeras-kerasnya. Saya gigit keras bibir bawah, jantung saya berdetak kencang, menahan emosi yang meluap hampir ke ubun-ubun.
Perasaan marah, kecewa, sedih, dan takut bercampur menjadi satu.
Jam
10 pagi dokter penyakit dalam datang. Dia sudah angkat tangan. Tidak ada lagi
yang dapat dia lakukan. Tetapi dia sempat menyarankan agar saya membawa mbah
Ayi ke RS Karyadi atau Elizabeth untuk
dioperasi kembali. Minggu lalu saaat kondisi mbah Ayi agak kuat saja
operasinya gagal. Apalagi sekarang dalam
kondisi kritis.
“Mbah
Ayi, andaikan saya punya uang banyak, mbah Ayi tidak akan dirawat disini. Saya
pasti akan membawa mbah Ayi ke RS Elizabeth. Mbah, maafkan saya. tidak mungkin
saya meninggalkan jauh-jauh suami yang sedang strok. Saya juga tidak mungkin
membiarkan anak-anak yang sedang menempuh ujian sendiri. Ya Tuhan apa yang
harus saya lakukan.
Saya kembali ke ruang tunggu. Beberapa orang
menanyakan keadaan mbah Ayi. Saya menceritakan semuanya kepada mereka. Ada di
antara saudara mereka yang pernah mengalami kegagalan dioperasi di RSUD
Salatiga. Mereka langsung membawanya ke RS Elizabeth. Di sana pasien dioperasi
kembali hingga memakan biaya Rp.130 juta. Tetapi akhirnya pasien tidak dapat
bertahan.
Hari Selasa dan Rabu tanggal
18 dan 19 April tahun 2017 adalah hari yang bersejarah dalam hidup saya yang
tidak pernah akan saya lupakan seumur hidup saya. Pagi hari setelah mbah Ayi
dimandikan, saya diperbolehkan untuk duduk di kursi samping tempat tidur mbah
Ayi sambil kugenggam tangan kanannya yang
mulai mendingin. Selang oksigen yang terpasang di hidungnya, dan selang infus
yang menyalurkan sari makanan dan obat-obatan menempel di lengan kirinya.
Kupandangi wajah mbah Ayi putuih bersih dan sangat tenang. Tidak ada
gurata-guratan di dahi lagi seperti saat kesakitan Pikiran saya menerawang berpuluh-puluh tahun yang lalu di masa kecil
saya.
“Ayo Susi makan dulu”
perintah ibu setiap pagi hari sebelum
saya berangkat ke sekolah. Langsung perut saya terasa sakit begitu mendengar
panggilan ibu untuk makan. Saat sarapan adalah saat yang paling menyiksa dalam
hidup saya. Entah mengapa kalau saya melihat nasi atau bubur nasi perut saya
langsung berontak. Saya tidak berani menyampaikan kepada ibu apa yang saya
rasakan karena saya sangat takut kalau ibu akan marah. Dengan menahan rasa
sakit perut, saya berusaha menyantap sarapan.
‘Kalau makan jangan
dikulum. Makan itu dikunyah terus ditelan. Jangan diam saja begitu, Semakin
lama makanan di mulutmu, rasanya akan semakin tidak enak.” Kata ibu.
Langsung saya mau
muntah rasanya dan perut saya semakin sakit. Segera saya berlari ke kamar
kecil. Saya muntahkan semua yang ada di dalam mulut.. Lega rasanya setelah isi
perut keluar semua.
Saya kembali ke meja
makan di
mana ibu dan ayah masih
menunggu saya. Saya tidak tahu apa yang ada dalam pikiran mereka. Saya juga
tidak berani memandang wajah mereka. Mereka diam seribu bahasa. Sarapan di
piring saya masih utuh dan saya semakin
tidak berselera untuk makan.
“Diminum tehnya, Susi,
” suara ibu memecahkan kesunyian.
Saya segera meminumnya.
“Dihabiskan minumnya,” kata
ibu lagi. “Sudah sana berangkat. Nanti terlambat”
Saya cium tangan ayah
dan ibu dan segera saya berlari ke luar untuk berangkat ke sekolah. Lega
rasanya hati ini tidak jadi sarapan.
Insiden sarapan seperti
itu selalu terjadi setiap pagi. Entah setelah hari keberapa ibu mengganti menu
sarapan. Kali ini nasi, telur ceplok dan segelas susu murni.
“Ahhh...susu sapi...”.
Mendengar kata susu sapi aja rasanya sudah mau muntah apalagi mencium baunya.
Parahnya lagi disuruh meminumnya.
“Tidak mau makan? Ya sudah
susunya aja diminum biar kuat,” bujuk ibu.
Saya tetap berdiam di
kursi sambil memegangi perut yang sudah berontak seperti tsunami. Terasa pula
ada cairan asam yang mengalir di tenggorokan.
“Ayo cepat diminum, nanti
kamu terlambat. Sudah jam enam lima belas menit,” kata ibu.
Dengan terpaksa saya
mencoba meminumnya dan meyimpannya di mulut tanpa saya teguk sedikitpun. Saya
menunggu reaksi ibu. Saat ibu pergi ke kamar, dengan cepat saya berlari menuju
ke kamar kecil sambil saya bawa susu yang masih ada di dalam gelas. Saya buang semua
susu dan saya muntahkan susu yang ada di dalam mulut. Segera saya kembali ke
tempat duduk. Saya letakkan gelas kosong bekas susu di sebelah kanan saya.. Jantung
saya berdetak dengan keras menunggu
kedatangan ibu sambil menerka-nerka kira-kira apa yang akan terjadi kemudian. Saya
menahan hafas saat ibu menghampiri saya.
“Sudah berangkat sana.
Jangan lari. Hati-hati di jalan. Langsung pulang. Jangan mampir-mampir,” pesan
ibu.
“Ahhh...Puji Tuhan...,”
kataku lirih sambil menghela nafas panjang.
Siang hari saya pulang
sekolah. Tiba di rumah pukul 1. Seperti biasa ibu sudah menunggu di ruang tamu.
Saya cium tangan ibu. Saya langsung menuju ke kamar untuk berganti pakaian.
Saya lihat di meja makan sudah tersedia makan siang. Ibu serta ayah sudah duduk
di sana. Nasi putih, sayur bening bayam dengan jagung sisir, tahu goreng , dan
sambal tempe. Wow...menu kesukaan saya nih..
Tanpa banyak bicara
kami bertiga makan. Rasanya nikmat sekali. Rasa lapar yang menyerang dan menu
yang menantang. Saya habiskan sayur bayam dan tahu goreng. Yang tersisa hanya
sambal tempe dan sedikit nasi.
Selesai makan, saya mencuci
piring sambil bersenandung. Kali ini saya mencuci piring dengan senang hati.
Saya mesarakan hidup menjadi ringan.
Sekitar satu jam
setelah makan siang, ibu dan ayah biasa tidur siang. Mereka sebenarnya juga
berharap saya bisa tidur siang. Tetapi saya tidak pernah bisa tidur siang. Di
dalam pikiran saya selalu ada aja yang ingin saya lakukan. Saat mereka tidur
siang, saya merasa bebas beraktivitas.
Saya senang membaca majalah Bobo, menggambar, mainan jual-jualan, bermain
dakon, bermain bekel dan masih banyak lagi. Satu hal yang harus saya ingat adalah
saya harus selesai bermain pukul 4 sore. Setelah itu saya harus menyirami
tanaman yang terdapat di samping kiri rumah kemudian mandi sore. Kalau tidak,
siap-siap aja mendengar ibu mengomel..
Sore harinya, saya
lihat ibu sudah duduk santai di ruang tengah. Beliau selalu kelihatan cantik
walaupun tanpa riasan di wajahnya. Senyum manis menghias di bibirnya yang
mungil.
“Susi, duduk dekat ibu
sini,” pinta ibu.
Segera saya menghampiri
ibu dan duduk di sampingnya. saya melihat di atas meja ada susu kaleng cap
bendera – susu coklat dan sebungkus roti tawar, mangkok, gelas, tremos berisi
air panas tentunya. dan sendok.
“Kita minum susu coklat
dan makan roti tawar sama-sama, ya?” kata ibu.
Saya tidak menjawab.
Tanpa menunggu jawaban dari saya , ibu menuangkan susu coklat ke dalam mangkok ditambah
air panas dan diaduknya. Ibu
mencicipinya sedikit kemudian mengambil selembar roti tawar. Dimasukkannya roti
tawar itu ke dalam mangkok lantas ibu memakannya. Saya hanya memandangi apa yang
ibu lakukan. Ibu terus memakannya sampai habis. Saya menelan air liur. Rasanya
ingin sekali saya memintanya. Setelah selesai, ibu menoleh kepada saya sambil
bertanya,” Mau?”
Aku hanya menganggukkan
kepala. Rasanya perut ini menjadi lapar.
“Tuangkan susunya di
mangkok,” kata ibu .
“Sudah segitu aja. Beri
air panas sampai setengah mangkok,” kata ibu lagi,
Saya berfikir mengapa
ibu tidak mau membuatkannya . Ada sedikit rasa kecewa dalam hati ini. Tetapi
saya tidak berani membantah. Saya lakukan semua apa yang disuruh oleh ibu.
“Diaduk pelan-pelan.
Masukkan roti tawarnya, Jangan diaduk. Jadi. Dimakan sekarang,” kata ibu.
Kuhirup aroma coklatnya
dan berbisik, “Hmmm...enak baunya”
Batin saya mengatakan,”Pasti rasanya juga enak.”
Saya makan sesendok
demi sesendok. Saya rasakan betul teksturnya yang lembut, rasanya gurih, manis
sedikit dan bau coklat yang menggoda. Tanpa terasa habislah satu mangkok susu
coklat dengan roti tawar.
“Besok pagi mau sarapan
seperti ini?” tanya ibu.
Saya tidak menjawab tetapi
hanya menganggukkan kepala.
Esok harinya di meja
makan sudah tersedia susu coklat satu gelas, roti tawar di piring, satu cup
mentega, sendok dan satu mangkok kosong.
Saya ambil dua lembar roti dan saya olesi dengan mentega. Saya memakannya
hingga habis lalu minum habis susu coklat hangat. Ibu memandangi saya sambil
tersenyum saat saya menghabiskan sarapan saya.
Sejak itu ibu selaku
menyediakan susu coklat hangat dengan ditemani roti tawar atau kadang roti mari
regal. Sarapan pagi menjadi saat yang menyenangkan.
Saya tersentak saat saya merasa ada tangan
yang menyentuh bahu
“Ibu, ini infusnya
dilepas saja karena tubuh pasien sudah menolaknya.” kata seorang perawat sambil
melepas selang infus.
Saya raba tangan kanan
mbah Ayi yang basah. Saya pikir itu air.
“Mbak, mengapa tangan
ibu saya basah?”
“Albuminnya tidak dapat
terserap, Bu”
“Ohh...”
Aku sudah paham betul
apa artinya tindakan ini. Aku merasa menjadi anak yang egois. Aku sangat
mengharapkan mbah Ayi siuman dan sembuh kembali
Sedangkan kondisinya sudah tidak memungkinkan. Saya pegang seluruh tubuh
mbah Ayi dari kaki , tangan sudah dingin semua.
Saya bisik doa-doa di
telinga mbah Ayi untuk menenangkan hatinya
Mungkin selama beberapa
hari mbah Ayi berjuang untuk bertahan
karena mendengar doa permohonan untuk sembuh yang saya ucapkan setiap
hari..
Akhirnya saya kuatkan
hati untuk membisikkan kata-kata ke telinga mbah Ayi bahwa saya sudah mengiklaskannya
bila memang mbah Ayi sudah waktunya untuk kembali kepada Bapa di surga.
“Kemarin ibu sudah menandatangani
pernyataan menolak pemberian tindakan venilator dan kejut jantung, ya?” tanya
perawat
“Ya, memang, mbak. Saya
tidak tega. Saya tidak ingin ibu saya merasakan sakit.di saat terakhirnya. Kata
perawat pemasangan ventilator bisa menciderai tenggorokan. Itu pasti sakit
sekali, Mbak.”
“Ya, benar, Bu.”
Perawat satunya
berkata,”Ibu keluar dulu ya, kami akan
merapikan semuanya. Nanti kalau sudah selesai, ibu saya panggil lagi.”
Segera saya keluar
dengan menahan air mataku yang hampir jatuh.
Pukul 1 malam saya
dipanggil perawat untuk menemani mbah Ayi. Saya melihat semuanya sudah rapi
sekali. Baju sudah diganti, rambut sudah disisir. sprei dan selimutpun sudah
diganti. Semua selang sudah dilepas tinggal masker oksigen yang masih
dikenakan.
Saya perhatikan dengan
seksama kondisi fisik mbah Ayi. Saya pegang kakinya yang dingin sekali seperti
es. Demikian pula dengan tangannya yang juga sudah sama dinginnya dengan kaki.
Saya lihat dada mbah Ayi sudah tidak ada gerakan . Ada sedikit gerakan di
tenggorokan. Saya perhatikan daun telinganya juga sudah berubah. Saya cium dahi
mbah Ayi dan saya belai ke dua pipinya.
“Mbah Ayi, I love
...love you sooo much.”
“Mbah Ayi tetap
cantik dan wangi.”
“Mbah, saya senang bisa
nemani mbah Ayi. Mbah Ayi juga senang khan? Mbah, saya minta maaf. Selama ini
selalu membuat mbah repot. Saya juga belum bisa membahagiakan mbah Ayi. Maafkan
bapaknya anak-anak ya, mbah. Dia belum bisa menjadi menantu yang baik. Maafkan
Amanda, Silvia dan Thesa. Mereka membuat mbah Ayi capek.”
“Yakinlah Mbah. Mbah
pasti masuk surga, Mbak khan orang yang sangat baik. Tuhan sangat sayang sama
Mbah. Mbah Ayi jangan takut. Mbah Ayi sudah senbuh sekarang. Kita berdoa yuk, Mbah.”
“Mbak, suster, tolong
saya ditemani.”
Segera saya panjatkan
doa di telinga mbah Ayi sambil saya elus-elus rambut dan dahi imbah Ayi. Tanpa
putus-putusnya doa saya panjatkan. Hingga saya melihat mbah Ayi sedikit membuka kedua matanya dan menarik
nafas dan kemudian kedua mata ibu terpejam. Itulah detik-detik terakhir saya
mendampingi mbah Ayi – ibu saya. Perasaan saya bercampur aduk, antara takut,
sedih, dan lega. Saya lihat jam di dinding tepat pukul 2 dini hari. Ruangan ICU
semakin terasa dingin dan sunyi.
Saya berusaha menahan
tangis tetapi air mata ini mengalir terus tak henti. Ada rasa sesal yang
mendalam dalam hati ini teringat beberapa permintaan mbah Ayi yang belum sempat
saya kabulkan semasa hidupnya. Saya merasa seperti ada jarum menusuk jantung
ini. Terasa sakit dan menyayat hati. Saya menarik nafas panjang berkali-kali. Kata
orang kita tidak boleh menangisi orang yang sudah meninggal. Saya bersyukur
karena mbah Ayi tidak sendiri di saat
terakhirnya. Saya bersyukur pula karena saya mampu mendampinginya berpulang ke rumah
Bapa.
Ibu, hanya itu yang
bisa saya lakukan untukmu. Tidak sebanding dengan apa yang sudah ibu lakukan
untuk saya selama ini. Engkau bukan hanya seorang ibu bagi saya tetapi juga
sahabat yang sejati yang selalu mengerti diri saya, yang selalu ada di saat
saya membutuhkan.
Pergilah ibu jangan
khawatirkan saya lagi. Cintamu tidak akan pernah sirna. walau badan kita
berpisah tetapi jiwa kita tetap menyatu. Seperti mutiara yang selalu tersimpan
di dalam hati ini. Terima kasih ibu untuk segalanya. Berbahagialah ibu di rumah
Bapa. I DO LOVE YOU, IBU..