A
Diamond in Khatulistiwa
-Wanita sejati bagaikan berlian. tangguh tak mudah
dihancurkan
dan tetap
bersinar walau tertutup lumpur-
Mentari bersinar di
pagi hari. Cahayanya menembus rimbunnya pepohonan di sekitar Perumahan Gunung
Sari Asri. Hangat terasa menembus kulit. Bayang-bayang mengikuti langkah Lia
yang berjalan tanpa alas kaki mengelilingi perumahan. Angin semilir menyibakkan rambutnya. Cahaya perak mulai tampak
diantaranya. Pertanda umur semakin beranjak diusia senja tetapi senyum selalu
menghiasi bibirnya.
Dirasa gawai di dalam
saku celananya bergetar. Lia langsung membuka whatsapp. Begitu banyak chat yang sudah menantinya. Lia langsung
membuka chat pribadi.
“Bunda, saya bisa pesan
novel Amanda 10 eksemplar?”
“Puji Tuhan, akhirnya novel
perdanaku menemui takdirnya,” gumam Lia.
Tangan Lia bergemetar
saat harus membalas chat pesanan novelnya. Dia tidak menyangka begitu banyak
teman di komunitas menulis yang berminat membaca novel tersebut. Bahkan tidak
sedikit sahabat-sahabat FB yang tertarik. Mereka dari Sumatra, Kalimantan,
Jawa, NTB, NTT, Papua. Permintaan yang paling tidak terduga adalah dari negeri
seberang, Malaysia, Singapura, Thailand, Austraia, Jerman, Perancis, dan Amerika. Mereka mengira novel Amanda, My Autism Beloved Daughter tertulis dalam bahasa Inggris. Ongkos
kirim yang mahal dan perbedaan bahasa bukanlah
penghalang bagi mereka untuk membaca novel , Amanda. Suatu minat baca yang sangat tinggi. Mereka juga sangat
menghargai karya seseorang walaupun karya tersebut masih sangat sederhana. Suatu
apresiasi yang sangat luar biasa yang membakar semangat Lia untuk terus menulis.
Lia juga memberikan
novel perdananya secara gratis kepada
anak didiknya yang berprestasi dalam mata pelajaran bahasa Inggris yang
diampunya. Novel tersebut juga disumbangkan ke beberapa perpustakaan di
Ambarawa, Salatiga, Purbalingga, Temanggung, danSemarang Beberapa saudara yang
senang membaca juga mendapatkannya.
Sebagian besar hasil
penjualan novel Amanda disumbangkan ke Rumah Panti Asuhan yang ada di kota
Salatiga. Sebagian lagi digunakan untuk mengembalikan biaya pra cetak sampai
cetak novel tersebut karena Lia menggunakan
tabungan anak sulungnya, Amanda, agar novel tersebut dapat terwujud.
Lia menulis novel Amanda bukan karena dia suka menulis
ataupun pandai menulis. Proses penulisan novel pertamanya ini diawali dari
perasaan sedih, galau, bersalah yang selalu berkecamuk di dalam hatinya saat
dia berada di sekolah. Lia harus meninggalkan keluarganya selama 11 jam setiap
harinya demi menunaikan tugas negara. Waktu yang sangat lama bagi dirinya dan
keluarganya untuk berpisah. Jarak rumah dan tempat Lia mengajar sangatlah jauh.
Sehingga Lia tidak dapat menengok keluarganya disela-sela jam mengajar. Padahal
suaminya sangat membutuhkan keberadan Lia untuk selalu disampingnya. Di usia
menjelang pensiun suami Lia menglami strok. Pendarahan otak yang dialami,
membuat suami Lia seperti anak kecil. Rasa khawatir yang tinggi, sering bingung
dan sering semaunya sendiri. Untunglah Lia seorang istri yang sangat sabar.
Kesabaran yang dimilikinya berkat anak sulungnya, Amanda. Dengan membimbing
Amanda, membuat Lia memiliki kekuatan yang lebih baik secara fisik, mental
maupun emosi.
God
is good, Tuhan memang baik dan tidak pernah tidur. Tuhan
selalu mendengar doa-doa umatnya. Lia pun merasakan hal tersebut. Tuhan
mengulurkan tanganNya lewat Media Guru. Lewat bapak Murman atau yang biasa
diganggil Pak Leck dan dan bapak Eko
Prasetyo, Lia mengenal dunia menulis
untuk pertama kali. Lia sangat bersyukur
karena merekalah novel, Amanda ada. Novel yang diangkat dari kisah nyata
kehidupan Lia dan anak sulungnya, Amanda. Lia ingin berbagi kepada para pembaca
novel tersebut bagaimana dia berjuang membesarkan anaknya yang menyandang autis
di tengah keterbatasan yang dia alami. Di dalam novel tersebut, Lia baru mampu
menuangkan 1/3 perjalanan hidup Amanda dari Amanda masih di dalam kandungan
hingga ia berusia 9 tahun. Saat ini Amanda sudah berusia 28 tahun. Dia
berencana menulis lanjutan novel tentang
Amanda sesuai dengan permintaan para pembaca novel perdananya. Lia selalu
berdoa semoga Tuhan memberikan kemudahan untuk dapat mewujudkan impian itu.
Pada cetakan pertama, novel Amanda beredar
sebanyak 250 eksemplar disusul cetakan kedua sebanyak 100 eksemplar.
Lia juga belajar
menulis di komunitas menulis lainnya. Dia berusaha mencari komunitas yang
berbeda dari komunitas menulis sebelumnya. Hingga akhirnya dia bergabung dengan
GIM – Gerakan Inovasi Menulis. Group menulis ini sangatlah unik dengan mentor
yang unik pula. Dia seorang inovator – Peng Keng Sun. Dari beliaulah Lia merasa
mendapat tempaan secara mental.
Pernyataan yang lugas, apa adanya, tidak membuat semangat Lia untuk
dapat menulis dengan lebih baik menjadi surut. Justru sebaliknya, Lia seperti
mendapatkan sulutan api yang membakar dirinya. Di saat beberapa teman di group
itu mengundurkan diri, Lia semakin getol untuk belajar dari buku karya inovasi
mentornya ini. Di group inilah Lia mengenal dan membeli banyak buku untuk
belajar menulis. Buku-buku karya fiksipun dibelinya. Lia termasuk orang yang
boros dalam urusan membeli buku. Selalu ada saja uang untuk membeli buku
walaupun penghasilannya tidaklah berlebih. Dia memang senang membaca. Kedua
anaknyapun, Silvia dan Thesa, juga suka membaca. Mereka merasa nyaman
berjam-jam di toko buku daripada di Mall. Seperti para penulis senior bilang bahwa untuk
menjadi seorang penulis memang harus banyak membaca. Lebih banyak membaca
daripada menulis. Lia juga berprinsip agar karya tulisnya dibeli orang maka Lia
juga harus mau membeli karya orang lain. Kenyataan yang Lia sering hadapi
justru sebaliknya. Tidak sedikit orang yang sangat berharap karya bukunya laris
dibeli orang tetapi dia sendiri tidak mau membeli buku. Ironis sekali.
Di GIM, Lia dapat melihat peluang untuk menulis buku
berkaitan dengan mata pelajaran yang dipegangnya. Sehingga lahirlah buku kedua -
Cerpen-Gram for Learning and Teaching
English hasil kolaboraasi dengan Peng Keng Sun. Buku kedua di cetak
sebanyak 300 eksemplar. 100 eksemplar di bagikan secara gratis pada acara talk
show Kick Andy. Suatu pencapaian yang sangat tidak diduga oleh Lia. Di GIM, Lia
mendapatkan banyak pelajaran. Peng Keng Sun sangat mengharapkan para anggota
GIM bisa menjadi seorang inovator bukan
penulis biasa. Di komunitas menulis ini Lia juga belajar seluk beluk marketing buku. Dia juga tahu bagaimana dunia
penerbitan buku yang sebenarnya.. Dia juga mengetahui bagaimana caranya
menembus penerbit mayor. Satu kebanggaan dirasa oleh Lia saat buku ketiganya dapat diterbitkn oleh penerbit mayor – PT. Elek Media Kumpotindo.
Buku teresebut berjudul Easy and Fun with
Cerpen-Gram.
Di dalam GIM terdapat
beberapa penulis hebat yang dapat menularkan ilmunya. Beberapa penulis senior
itu mengajak para anggota GIM untuk bergabung dalam penulisan antologi. Pak
Ludwig, seorang penulis kawakan mengajak bergabung dalam penulisan buku
antologi tentang pengembangan karakter. Terdapat 14 anggota GIM bergabung dalam
penulisan antologi ini. Hingga lahirlah buku tersebut dengan judul “Bunga
Rampai Pengembangan Karakter Bangsa” . Setiap penulis harus menulis sekitar
5000 kata. Wow...cukup banyak karena
bisa lebih dari 15 halaman untuk setiap penulis. Biasanya dalam buku antologi, setiap penulis
hanya menulis sekitar 5 halaman. Di dalam antologi “Bunga Rampai”, Lia menceritakan bagaimana penguatan
pendidikan karakter dilakukan di sekolahnya, SMA Negeri 1 Ambarawa, baik di
dalam kelas maupun di luar kelas yang melibatkaan seluruh komunitas di
sekolahnya. Walaupun Pak Ludwig sudah
berusia lebih dari 70 tahun ,semangat belajar , menulis dan menularkan ilmu
sangatlah besar. Bersama beliaulah, Lia mendapatkan kesempatan untuk
berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Beliau sering memberikan pelatihan di
perusahaan-perusahaan baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Buku antologi kedua yang
ditulis oleh ...anggota GIM adalah “A Cup
of Tea – Kisah Kasih Keluarga”. Di dalam buku antologi inipun hampir serupa
dengan buku Bunga Rampai. Bapak Peng Keng Sun tidak membatasi jumlah halaman
dalam tulisaan setiap penulis. Beliau memberikan kebebasan berpikir dan
berkreasi dalam menulis. Rata-rata para penulis menulis lebih dari 14 halaman.
Antologi ini ditulis berdasarkan kisah nyata yang terjadi pada kehidupan dalam
keluarga 14 penulis buku tersebut. Kisah tentang cinta kasih di dalam keluarga.
Dari pengalaman menulis antologi ini, Lia semakin menyadari betapa besar cinta
ibunya kepada dirinya hingga diakhir hayatnya..
Uluran tangan
berikutnya datang dari seorang editor handal. Beliau adalah bapak Stefanus
Rahoyo. Beliau menawarkan kesempatan
untuk menulis antologi yang bertema “menangani anak bandel.’ Untuk mempermudah
pengelolanan, beliau membentuk group menulis dengan nama Guru Menulis. Terdapat 23 penulis yang berhasil
menyelesaikan karyanya waqlaupunsebenarnya anggota group menulis ini cukup
banyak. Bapak Rahoyo termasuk editor yang sangat teliti. Sebelum karya para penulis
layak diterbitkan, pak Rahoyo akan mereviewnya. Karya yang sudah direview akan
dikembalikan kepada penulis untuk direvisi. Setelah karya yang telah direvisi
kembali ke tangan pak Rahoyo, barulah
beliau mengedit. Jadi Beliau memberi kesempatan kepada para penulis untuk
mengedit karya mereka sendiri dahulu. Bagi Lia, dengan proses penulisan seperti
itu, dia menjadi lebih mengetahui bagaimana proses menulis yang sebenarnya. Antologi
ini ditulis juga berdasarkan kisah nyata yang dialami para penulis. Mereka
menceritakan bagaimana mereka menangani anak didik mereka yang bandel dan
akhirnya menajadi anak yang baik. Lia harus mengingat kembali peristiwa yang
terjadi bertahun-tahun silam. Lia sangat senang manakala sang editor mengatakan
bahwa cara Lia menangani anak didiknya yang sangat bandel tersebut out of the box dan sangat inspiratif. Buku
antologi tersebut akhirnya diberi judul “Permata Guru”
Lia sangat bersyukur
lewat GIM, Lia dapat bertemu dengan orang orang hebat. Ada seorang pakar
menulis cerita anak. Beliau memiliki rumah baca yang diberi nama Wadas Kelir.
Heru Kurniawan seorang pecinta dunia anak. Lia banyak belajar bagaimana menulis
cerita untuk anak-anak. Sayang, Lia belum sempat menelorkan satu bukupun
tentang cerita untuk anak. Dia baru menulis beberapa cerita pendek untuk anak
di group menulis tersebut. Sepertinya passion
Lia bukan ke cerita anak. Lia belum mampu menulis cerita fantasi untuk anak
dengan baik. Baginya cerita yang disampaikan ke anak-anak haruslah yang logis
dan nyata. Itulah sebabnya Lia perlu banyak belajar. Dalam salah satu impiannya
ia tetap berharap suatu saat dia mampu menulis cerita untuk anak.-Pictorial Children Stories
Disela-sela menulis
buku, Lia juga menulis artikel ilmiah populer di media massa. seperti Wawasan
dan Jawa Pos Radar Semarang. Walaupun penayangan artikel di media massa
tersebut berbayar, bagi Lia tidak menjadi masalah. Nothing is free in the world, semua ada harganya. Di media masa itulah Lia dapat menularkan inovasi-inovasinya
tentang metode mengajar bahasa Inggris. Dari artikel yang berhasil dimuat, Lia
sudah melakukan 2 penelitian tindakan kelas. Diapun berencana akan membukukan
inovasi tersebut supaya semakin banyak para guru yang akan menggunakannya dan
mengembangkannya. Sehingga pembelajaran bahasa Inggris menjadi pelajaran yang
sangat menyenangkan, menantang dan berguna .
Di penghujung tahun
2019, Bunda Sri Sugiastuti mengajak Lia untuk bergabung dalam kelompok Pegiat
Literasi Nusantara. Komunitas ini akan menulis buku antologi tentang hijrah
atau thanksgiving, perasaan syukur
dan harapan ke depan. Lia juga bergabung dalam “Ngobras Puisi PLN Batch 1” . Disaat kejenuhan mulai dia rasakan, Lia harus
mencari sesuatu yang baru untuk membangkitkan semangatnya. Puisilah yang
berhasil membangkitkaan semangat menulis muncul kembali. Bersama ibu Sri Sujarwati dan Bapak Suprihationo, Lia
lebih mengenal puisi. Di group menulis ini, para anggota mendapat kesempatan untuk
menulis buku antologi puisi.
Di tahun 2020, Lia
sudah mempunyai beberapa rencana yang akan diselesaikan. Seorang penulis senior
sudah menantinya untuk berkolborasi menulis buku non fiksi. Buku tersebut akan
digunakan sebagai salah satu buku referensi para mahasiswa. Lia juga harus
menepati janjinya kepada mentornya untuk menyelesaikan buku yang baru 50% ditulis. 2 kesempatan penulisan artikel di
media massa juga harus diambilnya. Penelitian tindakan kelas berikutnya juga
membutuhkan tangannya untuk menyelesaikannnya. Di tahun itu pula Lia sudah
menyiapkan energi untuk menulis buku sendiri. Begitu banyak yang ingin Lia
lakukan di tahun 2020. Semangat menulisnya semakin menggebu-gebu ditengah
kesibukannya sebagai seorang ibu, istri, guru dan anggota masyarakat.
Dengan menulis Lia
merasakan mendapatkan banyak manfaat. Selain dapat menghilangkan rasa galau, sedih dan bersalah ,
ternyata dengan berjalannya waktu begitu banyak hal positif yang dia peroleh. Dia
dapat mengenal penulis-penulis hebat, memiliki banyak teman, buku-bukunya
bermanfaat untuk orang banyak, namanya mulai dikenal banyak orang dan yang
tidak kalah pentingnya adalah mendapat kredit poin untuk penilaian PAK. Dari semua manfaat tersebut yang paling utama
adalah Lia merasa lebih bahagia.
Harapannya semoga karya
bukunya bisa menyebar di bumi Nusantara, laksana berlian yang bersinar di Khatulistiwa
dan bermanfaat bagi oraang banyak. Tujuan
yang baik pasti akan membawa hasil yang baik pula. Never to old to learn. Itu keyakinan Lia. Let’s Go To 2020 . .
Profil Penulis
Natalia
Susiana Dwi Apriyanti adalah nama lengkapnya. Dia lulus Fakultas
Pendidikan jurusan Bahasa Inggris di Universitas Kristen Saatya Wacana
Salatiga. Dia mengajar bahasa Inggris di SMA Negeri `1 Ambarawa, Kabupaten
Semarang.
WA : 085728084000
Nama
di sertifikat : Natalia Susiana Dwi Apriyanti, S.Pd.
Nama
di kover : Natalia Susiana DA.
|
No comments:
Post a Comment